Kamis 11 Oct 2012 19:56 WIB

Hiperinflasi Iran Picu Spekulasi Revolusi (2)

Mata uang Iran, Rial
Mata uang Iran, Rial

REPUBLIKA.CO.ID, Krisis ekonomi yang melanda Iran akibat sanksi Barat yang berlaku 1 Juli lalu memicu hiperinflasi parah. Harga-harga meroket tajam hanya dalam hitungan hari mendorong rakyat Iran yang telah frustrasi melakukan aksi demonstrasi. Muncul spekulasi yang berbunyi krisis bisa mengarah ke revolusi jilid dua.

Menyoal spekulasi itu, pakar ekonomi dari Renaissance Capital, Charles Robertson, menyatakan ada kemungkinan untuk terjadi. Pada Maret lalu Robertson menulis catatan mengenai ketidapastian reaksi rakyat Iran terhadap hasil pemilu 2009. "Mereka (rakyat Iran) mengatahui risiko besar peralihan politik yang diwarnai kekerasan bisa menaikkan harga minyak," tulis Robertson.

Robertson juga menghitung spekulasi revolusi berdasar perubahan rezim sepanjang sejarah. Dalam  hitungannya ada 3,6 persen peluang demokratisasi bila pendapatan per kapita menyusut 5,1 persen menjadi $10-19 ribu dolar, dan peluang revolusi naik menjadi 6,4 persen jika pendapatan tadi menyusut lagi 15 persen menjadi $6-10 ribu dolar.

Pendapatan per kapita Iran pada 2009 adalah $10.622. Perhitungan itu mungkin menggambarkan bahwa kemungkinan kecil--atau bahkan tak ada sama sekali--revolusi pada 2012. Tapi angka-angka tadi mencermintan risiko serius.

GDP Iran per kapita diperkirakan $12.200 pada 2011 oleh IMF. Namun sanksi memberi efek pukulan serius tahun ini. Lebih dari itu pendapatan benar-benar menyusut secara nyata ketika riyal kehilangan nilainya.

Belum lagi situasi Iran saat ini juga tak cerah. Robertson menggambarkan lansekap ancaman terhadap Iran dalam waktu dekat sebagai berikut: Ketika sebuah negara memiliki masalah hiperinflasi, yang terjadi di lapangan, seluruh masyarakat keluar untuk berdagang apa pun agar bisa makan.

Makanan adalah kebutuhan yang bisa mengalahkan apa saja. Jika orang mulai mengeluarkan uang karena keharusan dan setiap barang terus naik dan naik tajam, maka situasi itu secara efektif menggoyangkan seluruh struktur ekonomi negara.

"Sederhananya, ketika masih ada orang yang memiliki uang tebal ingin membeli perabot, maka ia pun tidak akan membeli perabot di lingkungan tadi." Kondisi tadi justru mempercepat kenaikkan harga-harga, plus hiperinflasi di puncaknya. "Dengan satu sentilan saja, anda benar-benar bisa dengan cepat meruntuhkan situasi ekonomi macam tadi," imbuh Robertson.

"Jadi saya pikir Iran dalam situasi yang jauh lebih berbahaya daripada yang diperkirakan." (bersambung)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement