Jumat 22 Mar 2013 13:31 WIB

Kisah Hidup Warga di Balik 10 Tahun Perang Irak

 Suasana rutinitas kehidupan warga Irak. Saadoun Ahmed dan keluarga sedang menghangatkan diri dekat api unggun di barat Baghdad, Irak, Selasa (7/2). (ilustrasi)
Foto: AP/Hadi Mizban
Suasana rutinitas kehidupan warga Irak. Saadoun Ahmed dan keluarga sedang menghangatkan diri dekat api unggun di barat Baghdad, Irak, Selasa (7/2). (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD -- Satu dasawarsa sudah serbuan kepemimpinan Amerika Serikat (AS) di bumi Irak. Kini, 10 tahun setelah serbuan itu, warga Irak masih harus berdoa demi terciptanya kestabilan dan hidup yang lebih baik. 

Adalah Dhyaa Hussein, seorang warga Irak yang bermukim di Baghdad barat, memiliki tanda tanya besar di benaknya, "Apakah kami harus mengalami kesedihan dan menumpahkan darah sebanyak itu?"

Lelaki berusia 47 tahun itu, yang bekerja di satu toko di permukiman Sunni di bagian barat Baghdad, Al-Ghazaliyah, adalah saksi mata bagi banyak peristiwa di Ibu Kota Irak tersebut. Ia masih mengingat hari ketika pasukan koalisi pimpinan AS mulai membom Baghdad.

"Tak ada yang pernah bisa membenarkan harga mahal yang kami bayar selama satu dasawarsa terakhir. Saya bertanya-tanya apakah itu satu-satunya cara mengubah rezim Saddam Hussein," kata Hussein.

"Kami telah menyaksikan konflik berdarah sekatarian, dan tampaknya kami akan kembali terjerumus ke dalam pertumpahan darah," kata Mohammed Al-Asadi, pengemudi taksi berusia 53 tahun.

Pada Selasa (19/3), gelombang pemboman menewaskan sebanyak 60 orang Irak dan melukai lebih dari 200 orang lagi di seluruh negeri tersebut.

Setelah bertahun-tahun kehancuran dan pertumpahan darah, negeri itu menjadi terpecah dan nyaris lumpuh. Xinhua melaporkan pengangguran dan korupsi merajalela sementara kemiskinan tersebar luas, kepedihan rakyat pun bertamba.

Bagi sebagian orang, ambruknya rezim Saddam menyimpan berita baik. Sebagai pegawai Kementerian Pertanian, Basil Ali (40) mengenang ia dulu biasa memperoleh 20 dolar AS per bulan, tapi sekarang gaji saya lebih dari 1.800 dolar AS.

Namun, bagi kebanyakan orang, perubahan rezim di Irak tak banyak berarti. "Kami dulu nyaris menemui ajal akibat kediktatoran brutal Saddam dan sanksi ekonomi berat PBB, tapi sekarang nyawa kami terancam akibat pemboman oleh anggota faksi milisi yang bertikai," kata Ahmed Abdullah, guru yang berusia 38 tahun.

Serupa disampaikan seorang wartawan bernama Wail Matti. Menurutnya, rakyat Irak tidak memperoleh apapun dari perubahan rezim pada 2003 lalu, kecuali perang saudara, Alqaidah dan milisi lain, korupsi, konflik politik, pengungsian, serta ledakan terhadap gereja dan masjid.

"Siapa yang harus disalahkan atas kegagalan semacam ini?" lelaki itu mempertanyakan. "Rakyat Irak kah? Atau orang Amerika yang belum menuntaskan misi mereka sepenuhnya?"

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement