REPUBLIKA.CO.ID, LA PAZ -- Oposisi Bolivia tidak setuju dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang memberikan pintu perpanjangan waktu bagi Evo Morales untuk dapat kembali menjabat sebagai presiden. Pemimpin Partai Persatuan Nasional (NUP) Samuel Medina mengatakan, MK sudah menutup keran berdemokrasi dan kehendak masyarakat mayoritas.
Menurut dia, acuan peraturan baru tidak berlaku lantaran Morales menjabat sebelum aturan baru tersebut diundangkan, yakni 2005 silam. Lagi pula, kata dia, tidak menutup kemungkinan Morales akan mengajukan amandemen di masa ke tiga, jika dia menang dalam pemilu mendatang.
"Konstitusi sangat jelas menyatakan hanya satu kali pemilihan (untuk perpanjangan masa jabatan). Jika (Morales) menginkan jabatan lagi ia harus mengubah undang-undang lagi," kata Medina, seperti dilansir Reuters, Selasa (30/4).
Menurutnya, penafsiran MK perlu untuk disimak lagi. Peluang untuk melanggengkan kekuasaan Morales sampai 2018 mendatang akan membuktikan tidak lekangnya sosialisme di Bolivia. Seperti juga di negara Amerika Selatan lainnya, Bolivia merupakan satu di antara negara-negara yang dianggap berhasil menasionalisasikan semua sumber daya.
Morales adalah sekutu karib mendiang Presiden Venezuela Hugo Chavez. Kekompakan dua pemimpin ini menutup peluang bagi AS dan Uni Eropa untuk mendominasi ekonomi di negara sumber daya mineral di Amerika Latin. Seperti Chavez, Morales mencampakkan setiap proposal perusahaan swasta, apalagi milik asing, untuk menguasai komoditas di Bolivia.
Kebijakan kepemimpinannya adalah mengembalikan fungsi negara untuk mengontrol ekonomi. Fungsi tersebut membuat dia tidak populer bagi konglomerat domestik atau pun luar negeri.
Tapi Reuters mengatakan, presiden kelahiran 1959 ini punya menejemen jitu memelihara fiskal yang sehat dan membangun cadangan devisa.