Rabu 01 May 2013 18:30 WIB

PBB: Melanggar Hukum Paksa Makan Para Pemogok Makan

Unjuk rasa warga Palestina guna mendukung tahanan yang melakukan aksi mogok makan di penjara-penjara Israel.
Foto: Al-Arabiya
Unjuk rasa warga Palestina guna mendukung tahanan yang melakukan aksi mogok makan di penjara-penjara Israel.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Pemberian makan paksa pada pelaku mogok makan merupakan pelanggaran hukum internasional, kata kantor hak asasi manusia Perserikatan Bangsa Bangsa, Rabu, seiring dengan upaya pemerintah Amerika Serikat untuk membendung aksi ujuk rasa para narapidana di penjara kontroversial Guantanamo Bay.

"Jika ini dianggap sebagai penyiksaan atau perlakuan tidak manusiawi - dan itu yang terjadi, itu menyakitkan - maka itu dilarang oleh hukum internasional," kata Rupert Coville, Juru Bicara Komisaris Tinggi PBB untuk hak asasi manusia.

Dari 166 narapidana yang ditahan di penjara di pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat di tenggara Kuba itu, sekitar 100 narapidana diantaranya melakukan mogok makan, menurut penghitungan terbaru dari perwira militer. Dan dari mereka yang mogok makan, sekitar 21 tahanan diberi makan melalui tabung.

Coville menjelaskan bahwa Perserikatan Bangsa Bangsa mendasarkan sikapnya terhadap sikap Asosiasi Kedokteran Dunia (WMA), sebuah lembaga yang beranggotakan 102 negara termasuk Amerika Serikat, yang menjadi pengawas untuk etika dalam perawatan kesehatan.

Pada tahun 1991 WMA mengatakan bahwa pemberian makan paksa "tidak pernah dapat diterima secara etis". "Bahkan jika dimaksudkan untuk kebaikan, pemberian makan paksa disertai dengan ancaman, paksaan, memaksa atau menggunakan pengekangan fisik adalah bentuk tidak manusiawi dan merendahkan

tujuan dari pengobatan.

Sama-sama tidak dapat diterima adalah pemberian makan paksa kepada beberapa tahanan dalam rangka untuk mengintimidasi atau memaksa pemogok makan lainnya untuk menghentikan aksi mereka," katanya.

Sikap WMA menyusul deklarasi 1975 yang menyebutkan bahwa metode pemberian makan tidak alamiah tidak boleh dilakukan tanpa izin tahanan, dan bahwa setiap tahanan memiliki hak untuk menolak semua makanan jika seorang dokter menilai individu itu mampu membuat "keputusan tanpa hambatan dan memahami konsekuesi rasional" dari keputusannya.

Makanan buatan dapat digunakan jika tahanan setuju untuk itu, atau jika tahanan diputuskan tidak dapat membuat keputusan yang kompeten dan tidak menolaknya, menurut WMA.

sumber : antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement