REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Sebuah film dokumenter diluncurkan pada Jumat (7/6) lalu yang menggambarkan penyerangan rahasia Amerika Serikat (AS) terhadap para tersangka teror sebagai sebuah kampanye pembunuhan salah sasaran dan justru menghasilkan musuh-musuh baru serta merusak citra negara.
Melalui film berjudul "Dirty Wars: The World is a Battlefield", jurnalis Jeremy Scahill mengutuk 'pembunuhan bertarget' atas milisi terkait Alqaidah dalam sebuah serangan peluru kendali dan penyerbuan malam hari berdasarkan perintah sebagai sesuatu yang menyenangkan, sebuah negara perang permanen yang 'lepas kendali'.
Film tersebut berupaya menyoroti operasi yang berlangsung di bawah bayangan semenjak serangan 11 September 2011 (kerap dikenal sebagai peristiwa 9/11), dengan berfokus pada penumpasan warga sipil di Afghanistan dan Yaman.
Film dokumenter itu menceritakan serangan gagal yang dilakukan pasukan operasi khusus di desa Gardez, Afghanistan, yang menewaskan lima orang termasuk dua perempuan hamil.
Film itu juga menyisipkan rekaman video pribadi yang diambil oleh keluarga Afghanistan, menampilkan sebuah acara kumpul-kumpul diselingi tari-tarian dan tawa hanya beberapa menit sebelum orang-orang terdekat mereka dihujani peluru panas.
Salah seorang korbannya belakangan diketahui sebagi seorang polisi Afghanistan yang dilatih oleh AS. Para penghuni desa lantas murka, bersumpah memerangi komandan berjenggot yang mereka sebut sebagai Taliban Amerika.
"Apabila orang Amerika melakukan ini lagi, kami siap menumpahkan darah untuk memerangi mereka," kata salah seorang warga Afghanistan.
Kabar tentang serangan tersebut tersebar namun pasukan AS bersikeras korban mereka adalah anggota Taliban, sebelum akhirnya meminta maaf untuk kesalahan tragis tersebut.
Dalam sebuah wawancara Scahill mengatakan operasi rahasia semacam itu kontraproduktif dan salah secara moral, menimbulkan lebih banyak sikap anti-Amerika.
"Saya mendapati kesimpulan setelah beberapa tahun melakukan pekerjaan ini, bahwa kita (AS) menciptakan lebih banyak musuh baru ketimbang menumpas teroris yang sesungguhnya," kata Scahill, yang juga sempat menulis buku tentang perusahaan penyedia jasa keamanan privat penuh skandal, Blackwater.
"Tujuan film ini bukan untuk mengarahkan bagaimana orang berpikir tentang hal semacam ini (operasi khusus), tetapi menyajikan narasi berbeda dibandingkan yang biasa didengar lewat televisi," ujarnya.