REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Kepala Hak Asasi Manusia PBB Navi Pillay memperingatkan pada Sabtu bahwa Sri Lanka menjadi semakin otoriter dengan munculnya penderitaan dan pelecehan terhadap aktivis HAM dari badan-badan keamanan.
"Saya sangat menyesalkan bahwa Sri Lanka menunjukkan tanda-tanda ke arah semakin otoriter," kata Pillay kepada para jurnalis saat mengakhiri kunjungan panjangnya terkait penyelidikan kejahatan perang di negara itu.
Pillay mengatakan hal itu "benar-benar tidak dapat diterima" bahwa aktivis HAM yang berbicara dengannya selama yang aktivis hak yang berbicara dengannya selama misi pencarian fakta wanita itu selanjutnya menghadapi pelecehan oleh polisi dan militer.
"Ini adalah tinggi," katanya di ibu kota, sebelum keberangkatannya.
"Kami tidak dapat mengajak orang seperti saya dan melakukan hal semacam ini. Tipe pengawasan dan pelecehan semakin buruk di Sri Lanka, yang merupakan negara di mana suara-suara kritis yang cukup sering diserang atau bahkan dibungkam secara permanen," ujarnya.
Dia juga mendesak pemerintah Presiden Mahinda Rajapakse untuk melakukan demilitarisasi di bekas zona perang tepatnya di timur dan selatan negara tersebut, setelah berakhirnya perang etnis tahun 2009.
Pillay memulai kunjungannya pekan lalu setelah Kolombo muncul untuk menjatuhkan permusuhan publik kepadanya dan lembaga HAM PBB, yang mengadopi dua resolusi terhadap pulau-pulau selama beberapa tahun.
Dia secara terbuka menyerukan investigasi kejahatan perang yang disebut PBB sebagai "tuduhan kredibel" bahwa lebih dari 40.000 warga sipil tewas selama tahap akhir perang separatis.
Rajapakse menyarankan pada Jumat bahwa Pillay memiliki pra-dinilai Sri Lanka bahkan sebelum dia telah menulis laporannya dalam kunjungannya.
Pernyataan dari kantornya menyebutkan selama pertemuan dengan Pillay, presiden mengatakan kepada pejabat HAM bahwa Sri Lanka percaya PBB adalah organisasi bias.