REPUBLIKA.CO.ID, URUMQI -- Pemerintah Cina kembali menyulut provokasi di kalangan Uighur. Kini, mereka menaruh bendera nasional Cina di dalam masjid. Tak tanggung-tanggung, posisinya diatas mihrab yang bertuliskan "bismiliahirahmanirahim".
"Mereka (pemerintah Cina) ingin mengatakan bendera Cina lebih tinggi dari agama," ungkap Ilham Tohti, seorang pengacara komunitas Muslim Uighur, seperti dilansir Al-Jazeera, Sabtu (21/9).
Menurut Ilham, menaruh bendera di dalam masjid sangat sensitif. Padahal, tidak tepat bila menaruh hal itu dalam lingkungan religius.
Berulang kali Muslim Uighur mendapat provokasi. Terakhir, Muslimah berhijab dilarang menempati apartemen sewa subsidi pemerintah. Belum lagi, pemudi berusia 18 tahun dilarang berpuasa.
Para analis mengatakan kebijakan Beijing merupakan cara mengamankan jalur bisnis Asia Tengah. Mereka perlu menekan Uighur.
"Mereka (pemerintah Cina) berharap tidak ada masalah dengan upayanya mempengaruhi dunia, ini termasuk kasus Xianjiang," kata dia.
Tohti menilai Beijing sebenarnya takut dengan kemajuan dan perkembangan Uighur. Itu sebabnya, Beijing menyebut Uighur sebagai separatis. Namun, mereka tutupi apa yang dilakukannya.
"Jika memang Beijing mengatakan Uighur bagian dari mereka, maka seharusnya Beijing menaikan standar hidup mereka, bertanggung jawab atas kehidupan mereka," kata dia.
Berulang kali terjadi bentrokan antara Beijing dan Muslim Uighur. Tak terhitung berapa korban luka dan tewas dalam setiap insiden itu. Namun, pemerintah Cina berdalih tidak ada korban jiwa signifikan dari kalangan Uihgur.
Bentrokan itu terjadi lantaran ruang gerak Muslim Uighur dibatasi.
Secara ekonomi dan strata sosial mereka jauh tertinggal dari etnis Cina lainnya. Angka pengangguran pun cukup tinggi. Inilah yang kemudian menjadikan Muslim Uighur sasaran empuk provokasi Beijing.