REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Enam perempuan Uighur termasuk di antara 16 orang yang tewas dalam bentrokan di wilayah Xinjiang, Cina, yang bergolak pekan lalu.
Kongres Uighur Dunia berbasis di Muenchen dan Radio Free Asia, yang didanai oleh pemerintah AS, mengatakan bahwa polisi menggerebek sebuah rumah di mana keluarga itu sedang berkumpul.
Xinjiang, di bagian barat Cina, adalah rumah bagi minoritas Uighur Muslim. Pihak berwenang Cina mengatakan bahwa "teroris" yang bertanggung jawab atas insiden tersebut.
Tetapi juru bicara Kongres Uighur Dunia, Alim Seytoff, mengutip informasi dari dua warga Desa Saybagh di mana bentrokan itu berlangsung mengatakan,"Ini adalah pembantaian keluarga yang berkumpul untuk mempersiapkan pernikahan mendatang salah satu dari anak-anak mereka."
Menurut Radio Free Asia, salah satu warga mengatakan bahwa kepala polisi setempat memicu insiden itu dengan mengangkat jilbab seorang wanita selama serangan di rumah tersebut.
Korban tewas termasuk dua polisi. Sementara, 14 korban tewas lainnya berasal dari etnis Uighur.
Xinjiang selama bertahun-tahun mengalami gejolak kekerasan yang Beijing tuduh sebagai kelompok terorisme dan separatisme. Tetapi, kelompok hak asasi manusia mengatakan kekerasan dipicu oleh budaya penindasan, gangguan langkah-langkah keamanan dan gelombang imigrasi oleh mayoritas Cina Han.
Kekerasan memuncak pada 2009 ketika sekitar 200 orang tewas dan lebih dari 1.600 terluka dalam kerusuhan di ibu kota wilayah Urumqi.