REPUBLIKA.CO.ID, Pemerintah Amerika Serikat mendesak Thailand melindungi sekitar 200 pencari suaka dari etnik minoritas Muslim Uighur Cina. Para pegiat khawatir Beijing akan menekan kerajaan itu mendeportasi mereka.
Polisi Thailand pada Kamis mengatakan mereka menemukan keluarga-keluarga itu dalam satu operasi di wilayah selatan kerajaan itu. Para pencari suaka itu, yang nampaknya siap untuk pergi ke manapun, mengaku mereka sebagai etnik Turki bukan Uighur, kelompok Muslim yang menggunakan bahasa Turki dan banyak tinggal di wilayah Xinjiang, Cina.
"Kami mendesak pemerintah Thailand memberikan perlindungan penuh bagi para korban itu (dan) menjamin pemenuhan kebutuhan kemanusiaan mereka," kata wakil juru bicara Departemen Luar Negeri AS Marie Harf kepada wartawan.
Laporan tahunan terakhir hak asasi manusia Amerika Serikat itu mengatakan Cina melakukan "penindasan keras" terhadap warga Uighur di Xinjiang termasuk menyangkut kebebasan mereka untuk berbicara menjalankan ibadah.
Xinjiang secara berkala dilanda aksi kerasan dan para pejabat Cina menuduh kelompok separatis itu atas penikaman massal pada 1 Maret di satu stasiun kereta api di kota Kunming, China barat daya yang menewaskan 29 orang dan mencederai 143 orang lainnya.
Atas desakan dari Beijing, negara-negara termasuk Kamboja, Malaysia,dan Pakistan semuanya dalam tahun-tahun belakangan in secara paksa memulangkan para warga Uighur ke Cina. Thailand memiliki hubungan baik dengan Cina.
Badan PBB urusan pengungsi mengecam Malaysia karena mendeportasikan enam warga Uighur ke Cina Desember lalu, dengan mengatakan mereka dipulangkan ke satu negara di mana mereka berisiko menghadapi bahaya kendatipun kelompok itu telah terdaftar sebagai pencari suaka.
Kelompok Human Rights Watch (HRW), yang bermarkas di Amerika Serikat, menyatakan bahwa Thailand adalah bagian dai Konvensi PBB menentang Penyiksaan, yang melarang negara-negara mengirim orang-orang ke tempat-tempat di mana mereka akan menghadapi penyiksaan. Kelompok advokasi itu mengatakan Muslim Uighur di Thailand akan menghadapi "ancaman penyiksaan" jika mereka pulang ke Cina.