Senin 24 Mar 2014 13:34 WIB

Presiden Prancis Terancam Dibunuh

Francois Hollande
Foto: REUTERS
Francois Hollande

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Kelompok garis keras mengulangi seruannya untuk membunuh Presiden Prancis Fancois Hollande sebagai balasan atas tindakan negara tersebut mencampuri urusan Afrika.

Jaringan al-Minbar Jihadi, laman Internet milik kelompok yang punya hubungan dengan Al Qaida, mengatakan bahwa mereka ingin agar pengikutnya merencanakan serangan terhadap Prancis dan wakil kepentingan Prancis di mana saja sebagai bentuk dukungan kepada saudara seperjuangan di Republik Afrika Tengah dan Mali, lapor AFP.

"Tindakan mendukung mereka merupakan hal yang mudah bagi setiap orang yang setia dan jujur, karena kedutaan-kedutaan Prancis berada di setiap negara," tulis kelompok tersebut dalam sebuah pesan awal untuk memperkenalkan rencana besar barunya.

Dalam sebuah forum di laman tersebut, sebanyak 22 orang tercatat memberikan tanggapan berupa video, artikel dan puisi terhadap seruan melakukan teror terhadap Prancis dan pembunuhan Hollande.

"Kepada para pejuang kita di Prancis, bunuhlah presiden kriminal itu, buat pemerintah mereka takut, dan ledakkan bom sebagai bentuk dukungan terhadap Republik Afrika Tengah yang lemah itu," tulis sebuah pesan yang diunggah pada 9 Maret lalu.

"Hollande dan pasukannya tidak akan tenang berada di Prancis selama saudara kita di Mali dan Republik Afrika Tengah belum menikmati hidup yang layak di negaranya sendiri," demikian pesan lainnya.

Menanggapi hal tersebut, Hollande mengatakan, "Ini bukan pertama kalinya ada ancaman dan kami sangat waspada." Prancis pada Januari tahun lalu mengirim pasukan ke Mali untuk mengusir kelompok Islam militan dan gerilyawan Tuareg yang menguasai gurun di bagian utara.

Meskipun operasi kelompok garis keras tersebut kemudian berhenti setelah intervensi Prancis, para pengikutnya masih sering melakukan serangan terencara secara berkala.

Prancis juga mengirim sekitar 2.000 tentara ke Republik Afrika Tengah untuk bergabung dengan pasukan penjaga perdamaian Uni Afrika yang berkekuatan 6.000 personel setelah bergolaknya kekerasan agama di negara tersebut.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement