REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Mali mengenali dugaan penyakit pertama Ebola sejak awal kemunculan virus itu di Guinea tetangganya, sehingga menambah kekhawatiran virus mematikan tersebut telah menyebar di seluruh Afrika Barat.
Lebih dari 90 orang meninggal di Guinea dan Liberia dan kelompok amal Medecins Sans Frontieres (MSF) memperingatkan kemunculan wabah belum pernah terjadi di kawasan terbelakang dengan layanan kesehatan buruk itu.
Perusahaan tambang asing telah menutup operasinya dan menarik beberapa staf internasional di Guinea yang kaya sumberdaya mineral.
Otoritas kesehatan Prancis juga menyiagakan dokter serta rumah sakit-rumah sakit untuk menghadapi kemungkinan keluar masuknya orang-orang dari dan ke bekas koloninya itu dengan membawa virus.
Tiga orang di Mali dikarantina dan sampel mereka dikirim ke Atlanta, Amerika Serikat untuk dilakukan tes, kata pemerintah pada Kamis.
"Tim intervensi yang bergerak cepat telah dibentuk untuk mengikuti perkembangan situasi di lapangan," kata pernyataan tersebut. Kesehatan ketiga korban yang diduga terinfeksi dilaporkan sudah membaik.
Wabah tersebut mulai merebak di Guinea bulan lalu dan sejak itu terus meluas ke negara-negara tetangganya di Sierra Leone dan Liberia.
Gambia sudah menempatkan dua warganya dalam karantina meskipun kementerian kesehatan kemudian mengatakan bahwa keduanya dinyatakan negatif.
Banyak sistem kesehatan di Afrika Barat tidak siap menghadapi wabah dan pekerja kemanusiaan memperingatkan kesulitan untuk memerangi infeksi yang muncul tersebar di beberapa lokasi seperti ibukota Guinea, Conakry.
Kementerian kesehatan Guinea mengatakan dua lagi terduga korban Ebola meninggal, sehingga jumlah korban tewas tercatat 86 orang.Liberia juga melaporkan tiga kasus kematian diantara 14 terduga kasus, sehingga korban meninggal menjadi tujuh orang.
"Kami perlu berjuang untuk menghambat penyakit ini. Tim medis dari MSF hari ini datang untuk membantu melatih beberapa pekerja kesehatan kami," kata Menteri Kesehatan Liberia Walter Gwenegale.
Penyakit yang telah menewaskan 1.500 orang sejak muncul pertama kali pada 1976 di Republik Kongo itu menimbulkan gejala muntah-muntah, diare dan perdarahan dalam.
Angka kematian akibat penyakit ini mencapai lebih dari 90 persen.