Selasa 15 Jul 2014 16:47 WIB

Kisah Perjuangan Hidup Keluarga Gaza di Perbatasan Israel

Rep: Dessy Suciati Saputri/ Red: Citra Listya Rini
Warga Gaza berdiri di atas reruntuhan bangunan yang hancur dibom pesawat udara Israel.
Foto: Reuters/Mohammed Salem
Warga Gaza berdiri di atas reruntuhan bangunan yang hancur dibom pesawat udara Israel.

REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Serangan bombardir Israel berkali-kali menghantam wilayah Jalur Gaza. Israel menghujani wilayah tersebut dengan roket yang menghancurkan rumah-rumah dan bahkan kehidupan warga Gaza. 

Umm Samer Marouf, warga Gaza, harus berkali-kali melarikan diri dan mengungsi menyelamatkan keluarganya. Ia kali pertama mengungsi pada 2008 silam ketika Israel membombardir rumah keluarganya serta ladang strawberinya. Pun, ia harus menanggung banyak hutang akibat serangan ini.

Setelah mengungsi dari serangan tahun itu, kini Marouf juga harus kembali mengungsi bersama dengan tujuh anaknya. "Seharusnya mereka membunuh kami saja atau menyelesaikan masalah ini demi kebaikan, bukannya malah menembaki kami setiap dua tahun sekali," katanya di tempat pengungsian warga Gaza.

Warga Gaza mengungsi di sebuah sekolah dasar milik Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Sejak Israel melancarkan serangannya ke Gaza, lebih dari 17 ribu warga sipil Palestina di dekat perbatasan Israel harus mengungsi.

Mereka telah mendapatkan peringatan dari militer Israel untuk segera menyelamatkan diri. Pasalnya, Israel akan segera menyerang wilayah tersebut. Banyak warga Gaza yang mengungsi terpaksa harus meninggalkan rumahnya beberapa kali selama enam tahun terakhir selama pertempuran periodik ini.

Tak sedikit pula keluarga yang hidup menderita dan terpuruk karena kondisi perekonomiannya juga terganggu. Kekerasan ini hanya memperparah dan memperburuk kehidupan warga Gaza. Mereka berjuang untuk tetap melanjutkan hidupnya dalam tekanan ekonomi dan politik Israel.

Bahkan, ketegangan yang terjadi antara Hamas dan Mesir semakin membuat Gaza terisolasi. Menantu laki-laki Marouf, yang juga ayah dari empat anak, telah kehilangan kakinya dan terluka dalam serangan yang terjadi pada Sabtu. Saat serangan terjadi, ia tengah dalam perjalanan pulang setelah bekerja di toko daging ayam. 

Keluarga Marouf tumbuh dan besar dalam bayangan pendudukan Israel. Suaminya harus menunggu beberapa jam setiap harinya untuk melewati keamanan Israel karena bekerja di lahan perkebunan Israel. "Kami membangun harapan yang baik. Kami ingin Gaza menjadi seperti negara lainnya, dengan sebuah negara, pelabuhan, dan masa depan untuk anak-anak kami," katanya. 

Namun, harapan tersebut tiba-tiba hancur. Kondisi di Gaza semakin memburuk. Israel tidak pernah melepaskan kendalinya di perbatasan Gaza, wilayah udara, dan wilayah laut. Warga Palestina mempertimbangkan kondisi ini masih diduduki oleh Israel. 

Bahkan, Israel telah menjatuhkan larangan-larangan yang lebih keras terhadap pergerakan warga dan barang-barang. Mereka mengawasi barang-barang yang masuk karena para pejuang Palestina selalu menembakkan roketnya dan Hamas yang bersumpah akan menghancurkan Israel telah memenangkan pemilu Palestina pada 2006 silam. 

Suami Marouf pun tak dapat bekerja di Israel, sehingga mereka melanjutkan kehidupannya dengan bercocok tanam stroberi. Gaza semakin terpuruk dan menghadapi boikot dari Israel dan Barat. Para petani pun sulit mengekspor hasil panennya. Keluarga Marouf sempat tinggal di tenda pengungsian selama setahun dan membuat mereka menderita. 

Marouf menyalahkan Israel, Hamas, dan Fatah karena gagal mencapai perdamaian. "Kami tidak membenci para mujahidin. Mereka membela warga kami, tanah kami. Namun kami adalah korban yang terperangkap dalam tiga sisi," katanya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement