REPUBLIKA.CO.ID, HONGKONG -- Ribuan demonstran pro-demokrasi di jantung kota Hong Kong bersiap untuk konfrontasi dengan polisi pada Ahad (28/9). Mereka menuntut sistem demokrasi di negara bekas koloni Inggris tersebut.
Pemimpin dan pendukung kelompok Occupy Central dengan gerakan 'Cinta dan Perdamaian'-nya mendesak masyarakat untuk turut bergabung dalam protes. Demonstran menekan Beijing untuk memungkinkan digelarnya pemilihan umum yang bebas di negara tersebut.
Pendukung utama gerakan demokrasi Jimmy Lai mengatakan, ia ingin hadirnya massa sebesar mungkin untuk menggagalkan setiap tindakan keras terhadap aksi protes yang selama ini dianggap ilegal. Sejauh ini demonstrasi telah didominasi mahasiswa selama beberapa pekan.
"Semakin banyak warga Hong Kong datang, membuat polisi semakin sulit 'membersihkan' tempat tersebut. Saya percaya warg Hong Kong akan datang pada hari Ahad," kata Lai.
Sejumlah massa tampak duduk rapat dengan masker, payung terbalik dan kacamata. Ketegangan berkobar menjelang siang, ketika polisi menyita perlengkapan audio yang dibawa parlemen ditengah bentrokan.
Anggota parlemen pro-demokrasi Lee Cheuk-yan mengatakan, tiga rekan legoslator lainnya dia antara sekelompok kecil aktivis, ditahan oleh polisi. Termasuk pemimpin demokrasi Albert Ho dan Emily Lau.
Sebuah mobil polisi, penuh dengan perlengkapan audio yang disita, sempat diblokir oleh pengunjuk rasa. Dalam beberapa menit, polisi mulai mengirim ratusan bala bantuan.
Veteran demokrasi Martin Lee mengatakan, orang-orang Hong Kong percaya demokrasi baik untuk kota itu dan sebagian Cina yang lain.
"Mereka siap untuk mengorbankan kenyamanan dan kebebasan demi diri mereka, anak-anak dan cucu-cucu mereka," kata Lee.
Hong Kong kembali masuk dalam pemerintahan Cina pada tahun 1997. Mereka menggunakan formula yang dikenal sebagai 'satu negara dua sistem'. Formula tersebut menjamin otonomi tingkat tinggi dan kebebasan yang tak bisa dinikmati di Cina. Hak pilih universal ditetapkan sebagai tujuan akhirnya.
Tapi Beijing bulan lalu menolak tuntutan warga Hong Kong untuk bebas memilih pemimpin kota berikutnya. Hal ini mendorong ancaman dari para aktivis. Cina selama ini membatasi pemilihan untuk para calon yang setia pada Beijing.
Para pemimpin Partai Komunis di Beijing khawatir permintaan untuk demokrasi menyebar ke kota-kota lain di daratan Cina. Ini akan mengancam kekuasaan mereka.