REPUBLIKA.CO.ID, MILFORD -- Seorang ayah menuntut sebuah sekolah dasar di Connecticut, Selasa, karena anak perempuannya, yang berumur tujuh tahun, dilarang masuk 21 hari dengan alasan tekait Ebola, setelah anaknya itu menghadiri pernikahan di Nigeria.
Stephen Opayemi mengajukan tuntutan hukum itu ke pengadilan federal di New Haven, Connecticut.
Ia memohon hakim memerintahkan pihak sekolah di Milford, Connecticut, segera mengizinkan anaknya kembali ke kelas tiga di sekolah itu.
Anak Opayemi tidak menunjukkan gejala terkait Ebola dan kesehatannya baik-baik saja, namun orangtua siswa lain dan guru khawatir ia menularkan virus Ebola ke anak-anak lain, kata tuntutan tersebut.
"Kami berharap ini akan membolehkan anak itu kembali ke sekolah segera," kata sang ibu, Ikeolapo Opayemi dalam wawancara singkat di rumahnya.
Meskipun ibunya menolak membicarakan soal tuntutan itu seperti disarankan pengacara keluarga, ia mengatakan mereka telah tinggal di Milford selama lebih dari enam tahun.
Saat ditanya apakah ia terkejut dengan tindakan sekolah itu, ia menganggukkan kepala tanda setuju.
Nigeria mencatat 20 kasus Ebola dan delapan kematian tahun ini sebelum Organisasi Kesehatan Dunia menyatakan negara tersebut bebas Ebola pada 19 Oktober.
Epidemi tersebut berpusat di tiga negara Afrika Barat lain dimana sekitar 5 ribu orang tewas, yaitu Guinea, Liberia dan Sierra Leone.
Ikeoluwa Opayemi yang duduk di kelas tiga pergi dari dan ke Lagos, Nigeria antara 2 dan 13 Oktober, menurut dokumen tuntutan tersebut.
Ayahnya yang asli Nigeria juga turut serta dalam perjalanan itu.
Jonathan Berchem, jaksa penuntut kota Milford mengatakan ia belum melihat dokumen tuntutan tersebut dan tidak bisa memberikan komentar mengenainya.
Pengawas sekolah Elizabeth Feser tidak menjawab panggilan telepon, namun dalam surat elektroniknya mengatakan ia belum tahu mengenai tuntutan hukum tersebut.
Komunitas Afrika di Amerika Serikat melaporkan peningkatan sikap pengasingan sejak munculnya epidemi Ebola. Universitas di AS membatalkan dua jadual pidato oleh warga Liberia, sedangkan sebuah akademi di Teksas menolak pendaftaran masuk pelajar dari Nigeria karena kekhawatiran terkait virus tersebut.
Seorang tetangga keluarga Opayemi, Prashant Batil mengatakan anaknya yang berusia enam tahun sering bermain bersama Ikeoluwa dan ia yakin sekolah telah bersikap berlebihan.
"Orangtua tentulah orang-orang yang bertanggung jawab, dan jika mereka mengatakan ia tidak terkena Ebola, saya tidak akan melarang anak saya bermain dengannya," kata Batil.
Tuntutan hukum Opayemi diproses berdasar Akta warga Amerika dengan kecacatan. Hukum tersebut melarang diskriminasi karena kecacatan mental atau fisik, atau keyakinan bahwa seseorang memiliki kecacatan itu.
Pejabat Milford menolak tawaran sang ayah untuk melakukan pemeriksaan Ebola bagi dia maupun anaknya.
Berdasar dokumen tuntutan tersebut, seorang pejabat kesehatan kota mengatakan dalam pertemuan pada 15 Oktober, bahwa risiko anak tersebut menularkan Ebola sangat kecil namun ia harus dikarantina karena rumor, panik dan iklim di sekolah.
Pejabat kota maupun sekolah meminta Ikeoluwa untuk tidak masuk sekolah hingga 3 November, kata laporan itu.
Menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS, risiko tertular Ebola kecil atau tidak ada sama sekali kecuali seseorang melakukan kontak langsung dengan orang yang menunjukkan gejala-gejala penyakit itu.
Beberapa negara bagian dan pejabat lokal yang bergulat dengan ancaman kesehatan masyarakat menyebut garis panduan federal tidak cukup untuk melindungi rakyat Amerika dan memberlakukan langkah-langkah yang lebih ketat.
New York dan New Jersey mewajibkan karantina bagi mereka yang baru tiba dari Guinea, Liberia dan Sierra Leone dan pernah kontak dengan pasien Ebola.