Sabtu 08 Nov 2014 08:34 WIB

Pihak Bertikai di Sudan Selatan Diminta Berhenti Perang

Peta wilayah Sudan Selatan
Foto: IST
Peta wilayah Sudan Selatan

REPUBLIKA.CO.ID, ADDIS ABABA -- Presiden Sudan Selatan dan kepala pemberontak negara itu terkunci dalam hari kedua pembicaraan pada Jumat (7/11), di bawah tekanan dari para pemimpin regional untuk mengakhiri perang saudara yang telah berlangsung hampir 11-bulan.

Presiden Salva Kiir dan wakil presiden yang digulingkan Riek Machar bertemu di Addis Ababa, dengan Perdana Menteri Ethiopia Hailemariam Desalgen serta Presiden Kenya Uhuru Kenyatta memimpin tekanan terbaru untuk perdamaian itu.

Para pemimpin Afrika Timur telah semakin tidak sabar dengan pertikaian antara kedua pihak tersebut, pembicaraan lambat bergerak dan pelanggaran berulang beberapa kali sebelum penawaran gencatan senjata, dan mengatakan kepada mereka agar "datang dengan hati-sanubari mereka".

Dewan Keamanan PBB juga memperingatkan pekan ini dari kemungkinan sanksi atas pertempuran itu, yang telah menyebabkan puluhan ribu orang tewas dan memaksa hampir dua juta orang lainnya mengungsi.

"Ini adalah tempat yang sulit di mana kita berada, tetapi kita harapkan hasilnya, positif," kata Menteri Luar Negeri Kenya, Amina Mohamed, dalam sebuah pernyataan singkat.

Diplomat Kenya mengatakan Kiir, Machar dan mediator regional bertemu selama lebih dari 12 jam pada Kamis, dan bahwa pembicaraan telah dilanjutkan secara tertutup pada Jumat.

Para diplomat yang mencoba untuk menengahi kesepakatan perdamaian tampaknya letih oleh proses, dan pada Kamis perdana menteri Ethiopia mengeluh bahwa "tampanya hanya ada sedikit nafsu makan untuk perdamaian ".

"Kesabaran masyarakat internasional makin tipis dan mudah-mudahan tidak hilang di kedua sisi," kata Hailemariam.

Perang pecah pada Desember tahun lalu, ketika Kiir menuduh wakilnya Machar dipecat karena mencoba melakukan kudeta, dengan perluasan kekerasan menjadi konflik etnis dan sekarang termasuk lebih dari 20 kelompok bersenjata yang berbeda terlibat.

Kiir dan Machar bertemu bulan lalu di Tanzania, berjabat tangan dan menerima tanggung jawab bersama atas perang, yang telah ditandai dengan pelanggaran hak asasi manusia yang luas dan kekejaman oleh kedua belah pihak.

Itu pertemuan pertama mereka sejak mereka menandatangani gencatan senjata pada Agustus, yang, seperti tiga perjanjian sebelumnya, dengan cepat runtuh.

Beberapa pekan terakhir telah melihat sebuah kebangkitan dalam pertempuran bertepatan dengan berakhirnya musim hujan, dan telah terjadi bentrokan berat di beberapa daerah - khususnya di sekitar pusat minyak utara Bentiu.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement