Selasa 09 Dec 2014 11:13 WIB

RRC Vonis Mati Delapan Penyerang Xinjiang

Rep: C14/ Red: Winda Destiana Putri
Bendera Cina. Ilustrasi.
Foto: Reuters
Bendera Cina. Ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Pengadilan Republik Rakyat Cina (RRC) pada Senin (8/12) kemarin telah menjatuhkan vonis hukuman mati bagi delapan orang yang didakwa memimpin kelompok teror di Xinjiang, kawasan tempat berdiamnya suku Uighur Muslim. 

Kedelapan terdakwa itu dianggap telah melakukan dua aksi pengeboman yang mengakibatkan 46 orang tewas.

Pengadilan Negeri Urumqi di ibukota Provinsi Otonomi Xinjiang juga telah menjatuhkan vonis pidana bagi lima terdakwa lainnya. Namun, seperti dilansir stasiun televisi milik pemerintah RRC, tidak dijelaskan kapan pengadilan itu digelar.

Aksi kekerasan di Xinjiang telah menewaskan tidak kurang dari empat ratus orang dalam waktu dua puluh bulan terakhir. Pemerintah RRC menuduh kelompok radikal separatis sebagai dalang aksi tersebut.

Meskipun kalangan aktivis hak asasi manusia (HAM) dan akademisi menyuarakan hal berbeda. Menurut mereka, pemerintah RRC sendiri telah bertindak represif terhadap suku Uighur Muslim di Xinjiang. Sehingga, aksi kekerasan tersebut sesungguhnya berhulu pada represi dari pemerintah pusat sendiri.

Suku Uighur telah lama mengeluhkan intimidasi ekonomi yang dilakukan suku mayoritas Han, sebagai pemegang kekuasaan di Beijing. Diketahui, suku Han banyak berdatangan ke kawasan Xinjiang. Pemerintah RRC sendiri menganggap, suku Han, bukan suku Uighur setempat, lebih bisa menggerakkan roda ekonomi dan investasi di kawasan Xinjiang.

Dilxat Raxit, juru bicara Kongres Uighur Dunia (bermarkas di Munich, Jerman), menyayangkan pelanggaran HAM yang dilakukan pemerintah RRC terhadap suku Uighur. Menurut Raxit, vonis hukuman mati tersebut cenderung dilatari alasan politik, ketimbang keadilan. Para terdakwa, Raxit menuturkan, tidak punya kesempatan membela diri di persidangan.

"Cina tidak akan pernah bersedia melihat akar persoalan politik etnis di Uighur," ujar Dilxat Raxit, Selasa (9/12) seperti dilansir Al Arabiya.

Sebelumnya, pemerintah pusat RRC merespons serangan pengeboman itu dengan kekerasan dan aksi represif di Xinjiang. Pada 2009, terjadi kerusuhan di Urumqi yang mengakibatkan setidaknya dua ratus orang tewas. Aksi represif pemerintah pusat, menurut Raxit, hanya akan memperburuk keadaan.

Sementara itu, pemerintah pusat di Beijing menekankan, tidak ada politik etnis di Xinjiang. Bahkan, pihak Beijing sendiri telah melakukan reformasi kebijakan bagi Xinjiang. Kebijakan itu termasuk menyediakan sekolah gratis di kawasan selatan Xinjiang, yang didominasi oleh suku Uighur Muslim. Selain itu, masih menurut Beijing, lapangan pekerjaan terbuka luas untuk setidaknya satu orang di tiap keluarga di Xinjiang. Adapun Xinjiang sendiri terkenal sebagai kawasan di RRC yang masih didera kemiskinan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement