Jumat 06 Mar 2015 13:54 WIB

Penambahan Legislator Perempuan tak Berdampak pada Perbaikan Sosial

Suasana gladi bersih pelantikan anggota DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (30/9). Para legislator terpilih periode 2014-2019 akan disumpah pada Rabu (1/10).
Suasana gladi bersih pelantikan anggota DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (30/9). Para legislator terpilih periode 2014-2019 akan disumpah pada Rabu (1/10).

REPUBLIKA.CO.ID,JENEWA--Jumlah perempuan di parlemen di seluruh dunia meningkat hampir dua kali lipat dalam dua dasawarsa belakangan, namun kemajuan jumlah itu tak berkorelasi dengan kemajuan bagi mereka.

"Tidak ada ruang kepuasan bagi publik," kata Pemimpin Uni Parlemen Internasional Martin Chungong dilansir Reuters, Jumat (6/3).

Uni Parlemen Internasional sendiri beranggotakan 166 kelompok legislatif nasional. Dari datanya, perempuan kini menduduki 22,1 persen dari seluruh kursi parlemen di seluruh dunia, naik dari hanya 11,3 persen pada tahun 1995.

Sementara di Eropa, dan terutama negara-negara Nordik, mendominasi 10 besar parlemen yang paling banyak memiliki anggota perempuan pada 1995, kini situasinya jauh berbeda.

Negara-negara Sub Sahara Afrika saat ini mendominasi negara-negara dengan jumlah perempuan paling banyak di parlemen, dengan Rwanda berada di posisi teratas. Rwanda memiliki 63,8 persen perempuan di parlemen, dan diikuti oleh Bolivia dan Andorra, kata IPU.

Swedia, yang menempati peringkat keenam, adalah satu-satunya negara yang telah memilih lebih dari 40 persen perempuan di parlemen sejak tahun 1995.

Namun pertumbuhan pada dasarnya terhenti tahun lalu, yang hanya mencatat peningkatan sebesar 0,3 persen secara global setelah melompat 1,5 poin tahun sebelumnya.

"Setelah optimisme dan keyakinan pada 2013 bahwa kesetaraan gender di parlemen dapat dicapai dalam satu generasi, kurangnya kemajuan yang signifikan pada tahun 2014 adalah pukulan besar," kata Chungong.

Selama dua dasawarsa terakhir, transformasi ekonomi, sosial dan politik telah mengikis nilai-nilai patriarki di banyak masyarakat, sehingga memungkinkan perempuan untuk mengambil peran yang berbeda.

"Ini adalah peringatan bahwa kemajuan bukan hal yang mudah. Aksi dan kesadaran politik akan harus tetap konstan jika kita ingin berhasil mengatasi defisit gender dalam politik," tambahnya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement