REPUBLIKA.CO.ID, URUMQI -- Di tengah meningkatnya pembatasan fitur Islam di wilayah Xinjiang, pemimpin partai komunis di Kashgar telah memperingatkan satu hal yang sangat kontroversial.
Mereka telah mebatasi atau melarang wanita Muslim untuk menggunakan jilbab. Hal ini dilakukan mereka sebagai cara untuk berperang melawan ekstremisme.
"Kami harus mengambil langkah ke depan sebagai sebuah negara modern yang sekuler," ujarn sekretaris partai dari kota Kashgar, Zeng Cun seperti yang dikutip laman Onislam, Senin (9/3).
Desember lalu, Cina telah melarang Muslim untuk memakai jubah panjang di depan umum di wilayah Urumqi, Xinjiang. Hukum di wilayah mayoritas Muslim ini dilakukan sebagai upaya Beijing untuk mengintensifkan kampanye melawan 'ekstremisme religius'. Menurut mereka, kekerasan yang terjadi belakangan ini di Cina akibat dari kelompok Muslim di wilayah itu.
Karena telah diasingkan, kelompok Uighur dan aktivis hak asasi manusia mengatakan kebijakan represif pemerintah di Xinjiang itu termasuk kontrol yang berlebihan terhadap Islam. Menurutnya, kebijakan tersebut akan memicu kerusuhan.
"Kashgar secara tegas akan melawan terorisme terutama yang terjadi di wilayah itu," kata Zeng.
Muslim Uighur merupakan minoritas yang berbahasa Turki di Cina. Lebih dari delapan juta orang menetap di wilayah Xinjiang barat laut.
Sebelumnya pada 2014, Xinjiang telah mendapat larangan untuk melakukan praktik agama di gedung-gedung pemerintahan. Mereka juga diminta untuk tidak mengenakan pakaian atau logo yang berhubungan dengan ekstremisme agama.
Pada bulan Agustus, kota Xinjiang Karamay Utara telah melarang pemuda berjenggot. Selain itu, para wanita dilarang mengenakan burqa atau cadar di bus umum. Polisi juga telah menggerebek toko pakaian wanita di provinsi itu yang kemudian menyita jubah panjang.