REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Ada beberapa bangunan rusak di Gaza yang diperbaiki namun tak ada proyek rekonstruksi skala besar dimulai. Hingga saat ini belum ada rumah permanen yang telah dibangun kembali.
Beberapa negara donor mengaku ragu mengucurkan dana, karena meregangnya hubungan Hamas dan pemerintah Palestina. Padahal menurut laporan, berkurangnya proyek rekonstruksi memperburuk potensi konflik.
AIDA mendesak masyarakat internasional, untuk mengadopsi pendekatan baru di Gaza. Salah satunya menekan Israel mencabut blokade di wilayah perbatasan yang dikuasai Hamas.
Menurut laporan AIDA empat dari tujuh negara pendonor yang sedikit memenuhi janjinya. Mereka antara lain Qatar yang telah menyumbang 102 juta dolar dari satu miliar yang dijanjikan. Kemudian Arab Saudi menyumbang 500 juta dari 48,5 miliar yang dijanjikan. Uni Eropa telah mengucurkan 141 juta dari 348 juta yang dijanjikan. Serta Amerika Serikat yang memberikan 233 juta dari 277 juta janjinya.
Direktur Bantuan Medis untuk Palestina Fikr Shaltoot mengungkapkan, situasi di Gaza saat ini sangat mengerikan. Menurutnya banyak warga Gaza tak hanya kehilangan rumah mereka, tapi juga kehilangan privasi, martabat, dan kesabaran mereka.
"Kekhawatiran akan masa depan telah menjadi sesuatu yang dominan dirasakan sebagian besar warga Gaza," kata Shaltoot pada Aljazirah.
Laporan yang ditandatangani oleh 45 kelompok bantuan mengatakan, hanya dengan membuka blokade di perbatasan dan gencatan senjata jangka panjang yang dapat membawa stabilitas ke Gaza. Jika tidak, maka konflik akan kembali terjadi dan kerusakan tak bisa dihindari.
Blokade tak hanya dilakukan Israel, tapi juga oleh Mesir. Israel dan Mesir mengatakan, mereka perlu untuk mempertahankan penutupan karena Hamas yang dianggap menimbulkan ancaman keamanan. Israel telah tiga kali berperang dengan Hamas, dalam enam tahun terakhir.
Perang Gaza merupakan salah satu perang dahsyat, yang menewaskan lebih dari 2.200 warga Palestina. Sementara korban tewas di pihak Israel sejumlah 72 termasuk 66 tentara.