Selasa 21 Apr 2015 08:05 WIB

Tanzania Kutuk Serangan Xenofobia di Afrika Selatan

Kemah pengungsi De-Deur. Arine Tusenge dari Burundi ialah satu dari beberapa pengungsi yang kembali menghirup udara luar setelah bersembunyi di Vaal, South Afrika. Mereka pindah ke penampungan akibat serangan xenofobia.
Foto: Photography-New/Tawedzerwa Zhou
Kemah pengungsi De-Deur. Arine Tusenge dari Burundi ialah satu dari beberapa pengungsi yang kembali menghirup udara luar setelah bersembunyi di Vaal, South Afrika. Mereka pindah ke penampungan akibat serangan xenofobia.

REPUBLIKA.CO.ID, DAR ES SALAAM -- Pemerintah Tanzania pada Senin (20/4) mengutuk kekerasan xenofobia di Afrika Selatan sehingga membuat ribuan orang asing dari negara Afrika, termasuk dari Tanzania, kehilangan tempat tinggal.

Bernard Membe, Menteri Urusan Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional di negara Afrika Timur itu, mengatakan pemerintah sedang berusaha memulangkan 21 warganya yang terjebak di Afrika Selatan. Ia menyatakan ke-21 warga negara Tanzania tersebut kini tinggal di beberapa kamp yang dibuat untuk melindungi mereka dari kekerasan.

"Hari ini (Senin) saya mengadakan pembicaraan dengan Komisaris TInggi Afrika Selatan untuk Tanzania Thamsanga Dennis Mseleku dan menyampaikan kekecewaan pemerintah saya sehubungan dengan kerusuhan itu," kata Membe, sebagaimana dikutip Xinhua, Selasa (21/4) pagi.

Ia mengatakan Tanzania mendukung Ketua Uni Afrika (AU) dan Masyarakat Pembangunan Afrika Selatan (SADC), Presiden Zimbabwe Robert Mugabe yang telah mengutuk kekerasan xenofobia tersebut. Membe menyeru utusan Afrika Selatan itu agar menjamin warga negara Tanzania yang tinggal di Afrika Selatan berada di tangan yang aman.

"Laporan yang kami terima dari Afrika Selatan mengatakan tak ada warga Tanzania yang tewas dalam kekerasan xenofobia tersebut tapi tiga orang Tanzania telah tewas dalam peristiwa yang tak berkaitan dengan kerusuhan itu," kata menteri tersebut.

Ia mengatakan Pemerintah Tanzania tidak mengetahui jumlah pasti orang Tanzania yang tinggal di Afrika Selatan sebab kebanyakan dari mereka pergi ke pusat ekonomi di Afrika itu dengan menggunakan cara yang tidak sah. Namun, beberapa laporan dari Afrika Selatan mengatakan ada berjumlah lebih dari 10.000 yang tinggal di Durban dan Johannesburg, Afrika Selatan.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement