Jumat 29 May 2015 22:15 WIB

Asean Sepakat Selamatkan Manusia Perahu

Puluhan imigran etnis Rohingya, Myanmar dan Banglades berdoa usai melaksanakan shalat berjamaah di lokasi penampungan Imigrasi kelas I khusus Medan, Sumatera Utara, Jumat (29/5).
Foto: Antara/Irsan Mulyadi
Puluhan imigran etnis Rohingya, Myanmar dan Banglades berdoa usai melaksanakan shalat berjamaah di lokasi penampungan Imigrasi kelas I khusus Medan, Sumatera Utara, Jumat (29/5).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Negara-negara Asia Tenggara sepakat, Jumat, untuk mengintensifkan upaya pencarian dan penyelamatan membantu "manusia perahu" yang terkatung-katung di lautan kawasan itu, sementara Myanmar mengatakan angkatan laut mereka menahan sebuah kapal di lepas pantai yang membawa lebih dari 700 penumpang.

Lebih dari 4.000 imigran telah mendarat di Indonesia, Malaysia, Thailand, Myanmar dan Bangladesh sejak Thailand melancarkan operasi terhadap kelompok penyelundup manusia pada Mei. Sekitar 2.000 imigran kemungkinan masih terkatung-katung di dalam kapal di Laut Andaman dan Teluk Benggala, kata Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Negara-negara yang terkena imbas krisis tersebut, dalam pertemuan di Bangkok sepakat membentuk gugus tugas anti-penyelundupan, dan menyetujui sederet rekomendasi untuk mengatasi "akar masalah" krisis tersebut -- meskipun rencana itu disusun secara hati-hati agar tidak membuat marah Myanmar yang membantah sebagai penyebab masalah.

"Bahwa pertemuan puncak ini bisa terlaksana dengan partisipasi luas, sudah merupakan hasil yang bagus," kata William Lacy Swing, Direktur Jendral Organisasi Migrasi Internasional (IOM) kepada Reuters.

"Ini adalah langkah pertama yang sangat penting. Keberadaan Myanmar di sana adalah kunci. Saya sangat optimistis. Kami gembira bahwa mereka tetap pada penekanan untuk mengintensifkan operasi pencarian dan penyelamatan."

Beberapa di antara imigran tersebut adalah warga Bangladesh yang ingin keluar dari kemiskinan di negaranya. Namun banyak di antaranya adalah bagian dari 1,1 juta kelompok minoritas Muslim Rohingya yang hidup dalam kondisi seperti apartheid di Provinsi Rakhine, Myanmar.

"Anda tidak bisa menuding negara saya," kata Direktur Jendral Kementerian Luar Negeri Myanmar Htein Lin, yang memimpin delegasi Myanmar, dalam pidatonya. "Dalam isu gelombang migrasi ini, Myanmar bukanlah satu-satunya negara."

Myanmar tidak mengakui Rohingya sebagai warga negara sehingga mereka tidak memiliki kewarganegaraan. Pada saat sama, Myanmar membantah melakukan diskriminasi terhadap mereka atau bahwa mereka menghindari penyiksaan.

Myanmar tidak menyebut kelompok itu sebagai Rohingya namun merujuknya sebagai Bengali, yang mengindikasikan bahwa mereka berasal dari Bangladesh.

sumber : antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement