Rabu 17 Jun 2015 13:18 WIB

Amnesty: Myanmar Aktif Intimidasi Media

Rep: Lida Puspaningtyas/ Red: Bilal Ramadhan
Kondisi pengungsi Muslim Rohingya yang memperihatinkan. Situasi ini menyebabkan para pengungsi enggan kembali ke Myanmar.
Foto: Republika/Maman Sudiaman
Kondisi pengungsi Muslim Rohingya yang memperihatinkan. Situasi ini menyebabkan para pengungsi enggan kembali ke Myanmar.

REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Amnesty Internasional menuduh pemerintah Myanmar sengaja melakukan intimidasi terhadap media menjelang pemilihan umum tahun ini, Rabu (17/6). Intimidasi meliputi ancaman, kekerasan hingga penangkapan dan penahanan.

Kelompok HAM yang berbasis di London tersebut mengatakan pemerintah Myanmar telah melanggar hak kebebasan berpendapat. Hal tersebut dilakukan sejak beberapa tahun belakangan. Sedikitnya 10 jurnalis di penjara sejak 12 bulan yang lalu.

Dalam laporan 22 halamannya, Amnesty menyebut Myanmar melanggar kebebasan sejak transisi demokrasi pada 2011 dari rezim militer ke pemerintahan sipil. Padahal, Myanmar mengaku komitmen pada reformasi demokrasi.

Jurnalisme Myanmar memang berkembang, dilihat dari segi banyaknya kompetisi media dan menurunnya sensor pemerintah. Namun, Myanmar juga tak ragu menghukum publikasi dan jurnalis yang dinilai ofensif.

"Otoritas pemerintah masih mengandalkan taktik lama yang sama; menangkap, mengintai, mengancam dan memenjarakan jurnalis yang meliput topik tak berkenan," kata Direktur penelitian Asia Tenggara Amnesty, Rupert Abbott.

Juru kepresiden dan menteri informasi, Ye Htut menyangkal kritik tersebut. Htut menyampaikan Myanmar masih dalam proses transisi demokrasi. "Kami harus mengukur kebebasan berdasarkan rentannya faktor politik dan sosial negara," kata Htut.

Menurutnya, kebebasan harus dibarengi dengan tanggung jawab dan kode etik media. Amnesty menyebut beberapa kasus seperti penahanan 10 jurnalis sejak 2014. Mereka dijatuhi hukuman dua hingga tujuh tahun perjara karena melanggar aturan pemerintah. Seorang jurnalis juga dilaporkan tewas dalam tahanan militer.

Kementerian Informasi tahun lalu menuntut 11 anggota harian Myanmar Herald di bawah hukum media karena memuat artikel yang menyiratkan Presiden Thein Sein bodoh. Lima orang lainnya yaitu CEO, kepala editor, editor dan penerbit dari Daily Eleven juga ditangkap.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement