REPUBLIKA.CO.ID, DAMASKUS -- Sebanyak 14 anak Suriah yang direkrut oleh kelompok Negara Islam (IS) baru-baru ini telah tewas selama pertempuran kelompok fanatik tersebut di Irak, kata satu kelompok pemantau pada Selasa (23/6).
Anak-anak yang tewas itu dikirim ke Irak setelah mereka menyelesaikan pelatihan mereka di kamp IS di Suriah, kata Observatorium Suriah bagi Hak Asasi Manusia. Tapi kelompok tersebut tidak menyebutkan usia anak-anak itu.
Sebagian anak tewas selama pertempuran melawan pasukan Irak, atau karena meledakkan diri mereka dalam serangan bunuh diri, kata Observatorium tersebut, sebagaimana dilaporkan Xinhua. Ditambahkannya, anak lain yang menjadi petempur tewas akibat serangan koalisi pimpinan AS terhadap posisi IS di Irak.
Pada Maret, Observatorium itu, yang mengikuti perkembangan perang Suriah menyatakan lebih dari 400 anak Suriah yang berusia 18 tahun telah direkrut oleh kelompok fanatik IS sejak awal tahun ini.
Kelompok pengamat yang berpusat di Inggris tersebut mengatakan kebanyakan anak yang direkrut berasal dari bagian timur negeri itu, terutama dari Provinsi Deir Az-Zour, tempat IS bebas beroperasi.
IS telah berusaha keras untuk merekrut anak-anak yang tinggal di dekat kantor cabangnya. Kelompok fanatik tersebut tak pernah peduli apakah anak-anak itu mendapat, atau tidak mendapat, izin orang tua mereka. Kadangkala, IS bahkan memaksa orang tua untuk mengirim anak mereka bergabung dengan kelompok fanatik itu.
Di berbagai kamp, anak-anak diharuskan mempelajari ideologi IS dan cara berperang, kata Observatorium tersebut. Untuk mempertahankan kehadiran anak-anak itu, IS memikat mereka dengan imbalan uang.
Menurut Observatorium tersebut, sebanyak 140 anak bersenjata yang berusia di bawah 18 tahun dikirim untuk berperang di Kota Ayn Al-Arab, yang kebanyakan warganya orang Kurdi, di Suriah Utara untuk melawan petempur Kurdi pada Januari lalu.
Selain itu, rekaman video mengenai anak-anak yang sedang berlatih dan meneriakkan slogan sektarian telah beredar luas di Internet. Bahkan anak-anak di sekolah telah kehilangan kurikulum normal, sebab IS menghapuskan buku bacaan dan kurikulum pemerintah, dan menggantinya dengan bahan-bahan yang mengajarkan syariah menurut pemahaman IS.
Ketika mengomentari penggunaan anak-anak dalam konflik bersenjata, Kumar Tiku, Kepala Komunikasi Dana Anak PBB mengatakan dalam wawancara belum lama ini dengan Xinhua penggunaan anak-anak telah menjadi "kecenderungan yang meningkat".
Ia menekankan, "Kecenderungan yang paling mengerikan ialah meningkatnya penggunaan anak-anak dalam peran tempur". Ditambahkannya, itu "memiliki dampak sangat negatif bagi masa depan generasi anak-anak ini".
PBB belum lama ini mengatakan lebih dari 10.000 anak telah tewas dalam konflik di Suriah, dan banyak dari mereka menjadi sasaran penderitaan mengerikan seperti perkosaan, penyiksaan dan perekrutan untuk peran. Ribuan anak lagi telah dipaksa meninggalkan rumah mereka akibat konflik yang berkepanjangan.
Ikuti Whatsapp Channel Republika