REPUBLIKA.CO.ID, SYDNEY -- Ada kekhawatiran pekerja Australia akan kehilangan pekerjaan mereka, setelah perjanjian perdagangan bebas dengan China diberlakukan. Kekhawatiran tersebut dipicu dengan kemungkinan membanjirnya tenaga kerja asal China ke Australia.
Perjanjian perdagangan bebas antara Australia dan Cina telah dianggap sebagai terobosan baru. Dengan tarif rendah dan akses yang dibuka lebar, membuat Australia bisa lebih banyak melakukan ekspor ke Cina.
Sayangnya, perjanjian ini pun menimbulkan kekhawatiran bagi para pekerja yang tergabung dalam serikat buruh manufaktur. Mereka telah gencar melakukan kampanye untuk menyoroti kekhawatiran kemungkinan masuknya tenaga kerja asal China ke Australia.
Pekerja asal China tersebut bisa saja 'diimpor' bagi beberapa proyek-proyek besar, tanpa ada pengujian tenaga kerja sebelumnya.
"Kesepakatan ini akan berarti pada proyek-proyek konstruksi di kota-kota atau di pinggiran dengan investasi [dari China] hanya 15 persen akan memungkinkan perusahaan untuk mengimpor pekerja asal China dengan upah yang lebih rendah, akibatnya bisa mencegah pekerja konstruksi muda atau yang masih magang untuk bekerja," ujar Tim Ayres, dari Serikat Pekerja dan Manufaktur cabang Sydney.
Sebelumnya, telah beredar kampanye dengan bunyi, "Mengapa Tony Abbott menandatangani perjanjian perdagangan bebas yang memungkinkan investor dari Cina membawa pekerja konstruksi mereka sendiri dengan upah lebih rendah?"
Tapi ada beberapa pekerja konstruksi yang tidak akan terpengaruh, misalnya mereka yang bekerja untuk proyek perumahan.
Namun pada banyak sektor lainnya, perdagangan bebas ini telah memungkinkan para investor proyek untuk membawa pekerja sementara dari China tanpa perlu menguji pasar tenaga kerja di Australia sebelumnya.
Sementara itu pemerintah berpendapat lain.
"Ini adalah murni kekhawatiran dari mereka yang ketakutan pada hal-hal baru," ujar Andrew Robb, Menteri Perdagangan.
Menurutnya, kesepakatan tentu bukan dirancang untuk merebut pekerjaan warga Australia
"Apa yang dilakukan adalah memastikan jika ada ratusan atau miliaran juta dolar proyek, dengan waktu satu atau dua tahun untuk merancang sebelum proyek dijalankan. baru kemudian ada kepastian," tegas Robb.
Tenaga kerja sementara asal China telah menjadi pendorong sejumlah banyak proyek infrastruktur besar di negara-negara berkembang, terutama di Afrika.
Tapi pakar penelitian investasi China, Hans Hendrischke dari Sydney University Business School, hal ini belum tentu terjadi di Australia.
"Saat industri pertambangan booming, ide dari pihak China adalah mengurangi biaya produksi dengan membawa tenaga kerja sendiri dari China. Tapi kini, saya tidak melihat ada proyek-proyek besar [di Australia]. Dan saya pikir maksudnya adalah membawa pekerja dengan keahlian khusus, bukan sekedar tenaga kerja biasa," jelas Hendrischke.