REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Pengamat dan praktisi hukum Prof Todung Mulya Lubis menyatakan, kondisi perekonomian Indonesia saat ini mungkin menjadi alasan mengapa pelaksanaan hukuman mati. Hingga kini, gelombang berikutnya tidak terdengar lagi kabarnya.
Pemerintahan Presiden Jokowi telah dua kali melaksanakan eksekusi bagi para terpidana mati untuk berbagai kasus. Termasuk dua terpidana mati Bali Nine yang ditembak mati pada April lalu.
Kepada ABC, Prof. Todung Mulya Lubis mengatakan terlalu dini untuk menyebut bahwa perlambatan ekonomi Indonesia saat ini membuat pelaksanaan hukuman mati terhenti secara de facto.
"Tapi saya percaya bahwa Jokowi sekarang menyadari bahwa dia harus membayar harga dari dua kali pelaksanaan eksekusi para terpidana mati," ujar Prof. Todung yang berada di Australia dan berbicara mengenai upaya penghapusan hukuman mati di Indonesia.
Presiden Jokowi secara tegas tahun lalu menyatakan tidak akan memberikan grasi atau pengampunan kepada lebih dari 60 terpidana mati kasus narkoba.
"Ekonomi saat ini tidak begitu bagus," kata Prof. Todung baru-baru ini.
"Masalah utang luar negeri, masalah nilai tukar mata uang. Juga turunnya ekspor. Dalam kondisi ini, kita betul-betul tidak bisa melaksanakan eksekusi hukuman mati," tambahnya.
Sebelum pelaksanaan eksekusi terdahulu, sejumlah pihak telah mengingatkan Presiden Jokowi mengenai dampaknya bagi hubungan dengan Australia, Belanda, Perancis, dan Brasil, yang warganya turut ditembak mati.
Menurut Prof. Todung yang dikenal sebagai pengacara sejumlah perusahaan besar yang beroperasi di Indonesia, dia melihat sendiri bagaimana kalangan bisnis khawatir mengenai kebijakan pemerintah.
"Jokowi tahu dan mengerti bahwa investasi tidak datang ke Indonesia saat ini," katanya. "Bahkan investor yang ada pun mungkin saja hengkang."
"sebagai pengacara saya mengalami hal ini. Saya tahu sejumlah perusahaan mempertimbangkan untuk hengkang," tambahnya.