REPUBLIKA.CO.ID, HONG KONG -- Amnesti Internasional, Senin, menyerukan pembebasan delapan pegiat Cina yang terancam hukuman penjara dalam waktu lama, karena mengunggah pesan dan gambar mendukung unjuk rasa pro-demokrasi Hong Kong pada 2014.
Enam dari pegiat itu, yang ditahan atas dugaan memicu subversi terhadap kekuasaan pemerintah setelah mengangkat spanduk dengan pesan, seperti, "Dukung perjuangan kemerdekaan Hong Kong", menghadapi ancaman penjara hingga 15 tahun jika bersalah.
Mereka didakwa 'memicu subversi atas kekuasaan pemerintah' dan mengumpulkan massa untuk mengganggu ketertiban di tempat umum. Human Rights Watch pada pekan lalu juga mengeluarkan pernyataan meminta pemerintah Hong Kong membatalkan dakwaan terhadap pegiat Hong Kong, menyelidiki penanganan unjuk rasa pro-demokrasi, dan memulai kembali reformasi pemilihan umum.
Kementerian Luar Negeri Cina dan perwakilannya di Hong Kong tidak memberikan tanggapan atas isu tersebut. Polisi Hong Kong mengatakan pendirian politik seseorang bukan menjadi pertimbangan penahanan ataupun tindakan hukum.
Departemen Kehakiman Hong Kong menolak berkomentar atas kasus tersebut sebelum digelarnya pengadilan, namun mengatakan tidak ada pembenaran untuk membatalkan dakwaan kriminal, hanya karena orang ingin mengekspresikan aspirasi politik mereka.
Dewan Aduan Polisi Independen mengatakan sebelumnya mereka telah mengkaji pengaduan terkait unjuk rasa itu. Senin ini menandai setahun unjuk rasa pro-demokrasi Hong Kong, dimana para pegiat memblokir jalan-jalan utama di kota itu selama 79 hari, menuntut nominasi terbuka pemilihan ketua eksekutif Hongkong pada 2017.
Meski digelar secara damai, jumlah pengikut dan panjangnya masa protes --serta fakta bahwa aksi itu dipantau berbagai media internasional yang menyiarkan para pegiat menggunakan payung untuk mempertahankan diri dari gas air mata polisi, semprotan lada, dan pentungan-- menimbulkan tantangan serius bagi Partai Komunis Cina, yang mengontrol ketat masyarakat sipil.