REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Eskalasi gelombang serangan dan konflik bersenjata telah menguat di Turki sejak 7 Juli lalu. Sebanyak 282 warga tewas dalam 98 hari terakhir.
Menurut data situs berita Turki, Anadolu Agency yang dilansir Kamis (15/10), sebanyak 145 diantaranya berasal dari pasukan keamanan Turki. Rinciannya, 65 petugas polisi, 78 tentara, dan dua penjaga desa tewas dalam beberapa insiden serangan yang dilakukan oleh organisasi terlarang, khususnya PKK dan ISIS.
Selebihnya, serangan merenggut nyawa 137 warga sipil, termasuk enam bocah dan dua warga negara asing asal Iran dan Palestina.
Jumlah tersebut juga telah termasuk korban serangan bom di depan stasiun kereta api utama Ankara, Sabtu (10/10) lalu. Pemboman itu merupakan serangan paling mematikan dalam sejarah Turki modern, dengan menewaskan setidaknya 97 orang dan melukai 246 orang lainnya.
Ledakan Sabtu lalu itu turut mengguncang stabilitas Turki sebagai negara yang akan menghadapi pemilu pada 1 November mendatang. Terlebih, Turki tengah menggencarkan operasi kontraterorisme di kawasan tenggara dan mengalami perang sipil di perbatasan selatan Suriah.
Perdana Menteri Ahmet Davutoglu mengatakan pada Senin (12/10), mereka tengah mengidentifikasi dua terduga pelaku bom bunuh diri di Ankara dan organisasi yang menjadi dalang serangan tersebut. Investigasi mengarah kepada ISIS, yang juga terkait dengan pemboman di Suruc pada 20 Juli lalu.
“Bagi kami, tiga organisasi ini dipandang sebagai fokus potensi kejahatan. Dan benar, dari awal kami mengutamakan ISIS, mengingat metode dan kecenderungan umum,” ujar Davutoglu, merujuk pada ISIS, PKK, dan kelompok revolusioner kiri DHKP-C.