REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sengketa Laut Cina Selatan diramalkan tidak akan selesai, setidaknya dalam waktu dekat. Cina mengklaim hampir 95 persen perairan Laut Cina Selatan. Namun, sejumlah wilayah itu tumpang tindih dengan klaim negara lain seperti Filipina, Vietnam, Brunai, Taiwan, dan Malaysia.
Klaim Cina didasarkan pada sembilan garis putus-putus yang digambarkan dalam peta sejarah mereka. Beberapa tidak sesuai dengan Konvensi PBB tentang hukum laut/United Nation Convention on the Law Of Sea (UNCLOS) yang berdasarkan Zona Ekonomi Eksklusif 200 mil laut. Semua negara, kecuali Cina tentu saja, menyebut klaim Cina tidak sesuai dengan hukum internasional.
Menurut Deputi Direktur Studi Perbatasan Cina di Akademi Ilmu Sosial Cina, Li Guoqiang, Cina mengklaim 1,5 juta kilometer persegi wilayah ZEE, negara lain yang tumpang tindih dengan sembilan garis putus-putus. Saat membuat peta garis putus-putus pada 1947, Cina belum menentukan koordinat yang presisi terkait jangkauan geografis klaim Cina.
Laut Cina Selatan adalah perairan strategis dengan potensi luar biasa. Ia menjadi jalur utama perdagangan yang bernilai sekitar lima triliun dolar AS per tahun, kaya akan ekosistem laut, mineral, sumber daya alam, perikanan, kelautan, dan lainnya. (Pengembangan Mandalika Lombo Butuh Rp 37 triliun)