REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Seperempat anak usia sekolah di dunia yang berjumlah sekitar 462 juta, tinggal di negara-negara terdampak krisis seperti peperangan dan bencana. Hal itu diungkapkan UNICEF, Rabu (4/5), ketika mengungkapkan program dana baru untuk membantu mereka kembali ke kelas.
Hampir 75 juta anak dipertimbangkan sangat memerlukan bantuan agar bisa tetap bersekolah, namun badan dunia untuk masalah anak itu mengatakan hanya dua persen bantuan kemanusiaan yang diarahkan untuk pendidikan.
Program Pendidikan Tidak Bisa Menunggu, akan diluncurkan dalam Pertemuan Puncak Kemanusiaan Dunia yang pertama di Istanbul bulan ini. Tujuannya, mengumpulkan dana sebanyak empat miliar dolar AS untuk membantu 13,6 juta anak selama lima tahun dan 75 juta lainnya hingga tahun 2030.
"Pendidikan bisa mengubah hidup dalam keadaan darurat," kata Josephine Bourne, kepala pendidikan UNICEF.
"Pergi bersekolah bisa menjauhkan anak-anak dari kekerasan seperti perdagangan manusia atau direkrut masuk ke kelompok bersenjata, dan merupakan modal penting untuk masa depan anak-anak di masyarakatnya."
Badan itu juga mengatakan sekolah juga bisa melindungi anak-anak dari perburuhan anak dan pernikahan dini, dan peran pendidikan untuk melindungi anak sering diabaikan dalam masa krisis.
"Sudah waktunya bahwa pendidikan mendapat perhatian utama dari masyarakat internasional sebagai bagian dari tanggapan kemanusiaan dasar, selain pemenuhan atas air, makanan dan tempat tinggal," Bourne menambahkan.
Di Suriah lebih dari 6.000 sekolah terbengkelai, diserang atau diduduki militer atau diubah menjadi tempat pengungsian. Di Republik Afrika Tengah seperempat jumlah sekolah tidak berfungsi.
UNICEF tidak bisa menyatakan apakah jumlah anak-anak di daerah krisis meningkat, karena tidak ada data pembandingnya. Dana baru itu diharapkan dapat diperoleh dari negara donor baru, sektor niaga, yayasan, filantopis, diaspora dan kelompok keyakinan serta tradisional.