Selasa 05 Jul 2016 15:09 WIB

Pejabat Myanmar tak Mau Hukum Penghancur Masjid, Ini Alasannya

Rep: Gita Amanda/ Red: Achmad Syalaby
Muslim Rohingya menjadi komunita Muslim di Myanmar
Foto: geo.tv
Muslim Rohingya menjadi komunita Muslim di Myanmar

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Meski kelompok radikal telah menghancurkan beberapa masjid dan ruang shalat di Myanmar, pejabat setempat ternyata tak bisa berbuat banyak. Lewat siaran persnya kepada Republika, organisasi Fortify Rights di Myanmar mengungkapkan, Menteri Kepala Bago Region Win Thein tak bisa melakukan tindakan hukum kepada para pelaku kekerasan di Thaye Thamain, 29 Juni lalu. 

Kepada Myanmar Times, Win Thein menjelaskan, upaya hukum akan membuat situasi memburuk. Pada 23 Juni, sekelompok orang merusak  sejumlah bangunan dan menghancurkan masjid di desa Thaye Thamain. Seorang warga Abdul Rashid dilaporkan menderita luka di pinggang dan kepala. Setelah serangan banyak warga Muslim melarikan diri dari Thaye Thamain.

(Baca: Kelompok Radikal Myanmar Hancurkan Masjid Saat Ramadhan).

Sebuah laporan baru-baru ini ke Dewan Hak Asasi Manusia PBB oleh U.N. Office of the High Commissioner for Human Rights berisi detail pelanggaran HAM sistemik terhadap minoritas agama di Myanmar. Poin laporan menekankan kepada tanggung jawab pemerintah untuk menghentikan pelanggaran terhadap minoritas dan memutus siklus berkelanjutan impunitas. 

CEO Fortify Rigths Matthew Smith mengatakan tindakan ekstremisme terhadap agama ini bukan aksi spontan. Menurut dia, pemerintah perlu melakukan upaya bersama melindungi kebebasan beragama dan mencegah 'wabah' kekerasan di masa mendatang.

"Ini tugas semua orang di Myanmar untuk memastikan masyarakat dari semua agama dapat menjalankan agama mereka dengan bebas dari rasa takut," ujarnya.

Berdasarkan Pasal 18 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia disebut perihal melindungi hak kebebasan beragama. Negara-negara berkewajiban untuk melindungi hak warga termasuk kelompok minoritas agar sejalan dengan prinsip-prinsip dasar kesetaraan dan non-diskriminasi di bawah hukum internasional.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement