Sabtu 16 Jul 2016 14:11 WIB

Serangan Nice: Presiden Hollande Temui Kepala Keamanan

Rep: melisa riska putri/ Red: Damanhuri Zuhri
Presiden Prancis Francois Hollande.
Foto: Reuters
Presiden Prancis Francois Hollande.

REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Presiden Prancis Francois Hollande akan melakukan pembicaraan dengan kabinet keamanan menyusul serangan Kamis (14/7) di Nice yang menewaskan 84 orang. Serangan tersebut memperpanjang keadaan darurat selama tiga bulan.

Keadaan darurat dinyatakan di Prancis sejak serangan Paris yang dilakukan militan ISIS November lalu yang menewaskan 130 orang. Keadaan darurat dikabarkan berakhir pada 26 Juli.

Pada Kamis, seorang supir membajak truk dan mengarahkannya ke kerumunan yang merasakan Hari Bastille di Nice Promenade des Anglais. Supir itu kemudian ditembak mati oleh polisi. Ia diidentifikasi sebagai warga Tunisia, Mohamed Lahouaiej-Bouhlel (31 tahun).

Para jaksa mengatakan, ia mengendarai truk sejauh dua kilometer di sepanjang promenade yang terkenal secara zig-zag dan menargetkan orang-orang. Sebanyak 10 korban tewas adalah anak-anak dan sekitar 202 orang terluka.

Pada pertemuan dengan kepala keamanan, Hollande diperkirakan akan meninjau semua pilihan yang tersedia dalam menanggapi serangan tersebut. Dalam pidato di televisi Kamis malam, ia berjanji akan mengerahkan tentara cadangan untuk membantu memberikan keamanan di seluruh negeri.

Ia memperingatkan akan terus melawan terorisme, seperti Prancis yang menghadapi musuh yang akan terus menyerang masyarakat dan negaranya. "Kita akan mengatasi penderitaan karena kita adalah Prancis bersatu," katanya dilansir dari BBC News, Sabtu (16/7).

Jaksa Paris Francois Molins mengatakan, tidak ada kelompok yang mengaku melakukan serangan tersebut. Namun Perdana Menteri Prancis Manuel Valls mengatakan, Bouhlel terkait dengan radikal Islam. "Ya, itu adalah aksi teroris dan kita akan melihat apa ada hubungannya dengan organisasi teroris," katanya.

Meski banyak pejabat Prancis menggambarkannya sebagai serangan teroris, hingga Jumat malam belum diungkapkan adanya bukti langsung yang menghubungkan Bouhlel dengan ekstremis.

Di dalam truk 19 ton yang dikendarai Bouhlel ditemukan amunisi, pistol palsu, replika Kalashnikov, senapan M16 dan granat dummy. Ada juga sepeda, palet kosong, dokumen dan ponsel.

Bouhlel, supir dan kurir itu memiliki tiga anak yang telah dipisahkan dari istrinya. Sang istri ditahan polisi Jumat (15/7). "Dia (Bouhlel) dikenal polisi sebagai penjahat kecil, tapi benar-benar tidak diketahui intelijen dan tidak pernah ditandai memiliki tanda-tanda radikalisasi," tambah jaksa.

Sumber-sumber keamanan Tunisia mengatakan, Bouhlel datang dari kota Msaken di Tunisia. Ia sering mengunjungi Tunisia, terakhir kali delapan bulan lalu. Warga di apartemen-nya mengatakan, ia adalah seorang penyendiri yang tidak menanggapi ketika para tetangga berkata Halo.

sumber : reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement