REPUBLIKA.CO.ID, MANILA -- Filipina tengah memulai prosesi penguburan diktator Ferdinand Marcos di kompleks makam pahlawan. Keputusan tersebut dinilai telah memicu kritik dan perdebatan dari wakil presiden, bahkan dikhawatirkan dapat menyebabkan perpecahan.
Presiden Rodrigo Duterte mengatakan ia akan menunaikan janji ke Marcos, pemimpin tangan besi yang berkuasa selama dua dasawarsa. Jasadnya akan dikebumikan di kompleks makam pahlawan sebagai mantan presiden dan tentara. Menteri Pertahanan Delfin Lorenzana menunjuk Kepala Staf AD, Jenderal Ricardo Visaya untuk mengatur prosesi pemakaman sesuai dengan perintah lisan presiden untuk memenuhi janji kampanyenya bulan depan.
"Saya hanya menuruti arahan presiden, apapun pendapat saya pun tak penting. Ia berhak dikebumikan di makam pahlawan karena telah memenuhi aturan militer," ujar Lorenzana, Senin (8/8).
Marcos adalah seorang tentara dan pemimpin pasukan gerilya dalam Perang Dunia II, khususnya saat wilayah bekas koloni Amerika Serikat itu diduduki Jepang. Sebagai seorang diktator dari 1970 sampai 1980-an, Marcos beserta keluarga dan kroninya menghimpun kekayaan hingga 10 miliar dolar AS dari usaha tak bersih. Bahkan, ribuan tersangka pemberontak komunis dan oposisi politiknya juga dibunuh. Imelda, istri Marcos, menyangkal mendapatkan kekayaan secara ilegal.
Wakil Presiden Leni Robredo mengatakan ia menentang keputusan Duterte untuk memindahkan jasad Marcos dari kampung halamannya di Batac, bagian utara Filipina ke makam pahlawan. "Marcos bukan pahlawan. Bagaimana kita membiarkan makam pahlawan diisi jasad seseorang yang telah menjarah negara dan bertanggung jawab atas kematian serta hilangnya banyak warga Filipina?" ujarnya.
Pegiat hak asasi manusia, Robredo sempat mengalahkan anak diktator yang namanya sama, Ferdinand Marcos dalam pemilihan wakil presiden, Mei. Perempuan itu mengatakan, keputusan Duterte tak akan menyatukan warga, tetapi justru "memperburuk luka yang tak dapat disembuhkan" para korban Marcos.
Beberapa uskup Katolik Roma dan pegiat sayap kiri turut menentang penguburan Marcos di makam pahlawan. "Langkah itu merupakan penghinaan besar," kata salah satu uskup terkenal, Arturo Bastes.
Meski demikian, Duterte menepis semua kritik tersebut. "Saya pikir tak ada yang salah mengebumikan Marcos di Libingan ng mga Bayani," ujar presiden dalam pidatonya merujuk nama makam pahlawan di depan para tentara, Ahad.
Marcos terpilih sebagai presiden pada 1965, dan kembali terpilih empat tahun setelahnya. Ia memberlakukan aturan darurat militer setahun sebelum periode keduanya berakhir. Mantan pemimpin itu pada 1986 dijatuhkan dalam "pemberontakan rakyat". Ia pun melarikan diri ke Hawaii hingga wafat tiga tahun kemudian. Jasadnya dikembalikan ke negaranya pada awal 1990-an, dan dikebumikan dalam pemakaman keluarga.