REPUBLIKA.CO.ID, MANILA -- Mantan presiden Filipina Benigno Aquino dimakamkan di perkuburan Manila pada Sabtu (26/6) di samping orang tuanya. Ratusan pelayat berpakaian hitam dan putih, beberapa juga mengenakan pakaian kuning atau warna yang diasosiasikan dengan keluarga Aquino dan revolusi 1986 yang menggulingkan seorang diktator, yaitu pita dan masker wajah, menghadiri misa dan upacara pemakaman.
Aquino, presiden dari 2010 hingga 2016, meninggal pada usia 61 di sebuah rumah sakit Manila pada Kamis karena gagal ginjal akibat diabetes. "Untuk pria yang sangat kami syukuri sebagai saudara kami, kami akan selamanya bangga padamu, terima kasih, kami merindukanmu dan mencintaimu," kata Maria Elena Aquino-Cruz, kakak perempuan Aquino, pada misa pemakaman. "Untuk kalian semua, bos Noy, terima kasih."
Jenazah Aquino dikremasi pada Kamis (24/6). Ribuan orang mengantre untuk melayat di sebuah gereja di almamaternya pada Jumat. Warga Filipina berbaris di sepanjang jalan untuk memberi penghormatan selama satu jam konvoi puluhan kendaraan dari almamaternya, Universitas Ateneo de Manila, ke pemakaman di selatan ibu kota.
Militer memberi hormat dengan 21 tembakan meriam dan sebuah helikopter menghujani bunga kuning. Di kediaman Aquino di jantung ibu kota, para pendukung meninggalkan bunga krisan, lonceng kuning, dan bunga matahari untuk mendiang pemimpin itu.
Di antara mereka yang memberi hormat kepada Aquino adalah wakil presiden dan sekutu politik Leni Robredo, dan teman-teman dekat. Sebagian besar pendukung diblokir di pintu masuk pemakaman untuk mencegah pertemuan massal dan penyebaran Covid-19.
"Saya menghormati seorang pemimpin yang rendah hati dan memberikan cinta sejati untuk negara, rakyat, dan Tuhan," kata Thelma Chua (64) yang mengenakan kemeja kuning saat pemakaman, kepada Reuters. "Saya berdoa untuk keluarga lain dengan sikap seperti Noy dan orang tuanya yang akan memperjuangkan kebenaran, keadilan, kesetiaan, cinta kepada Tuhan dan negara."
Dikenal populer sebagai Noynoy, Aquino membawa gelombang dukungan publik ke kursi kepresidenan setelah kematian ibunya pada 2009, pemimpin "Kekuatan Rakyat" yang dihormati Corazon Aquino, yang menjadi presiden dari 1986 hingga 1992. Ayahnya yang senama, seorang kritikus setia diktator Ferdinand Marcos, dibunuh ketika dia kembali dari pengasingan politik pada 1983, menanam benih untuk revolusi Kekuatan Rakyat 1986 yang menjatuhkan orang kuat itu dari jabatan.
Sebagai presiden, Aquino muda memimpin Filipina dalam menghilangkan citra abadi "orang sakit Asia" melalui pemerintahan yang lebih baik dan pertumbuhan ekonomi yang kuat. Dia menantang klaim Beijing atas Laut China Selatan di hadapan pengadilan arbitrase di Den Haag pada 2013.
Presiden Rodrigo Duterte tidak menghadiri pemakaman tersebut. Dia menyatakan masa berkabung selama 10 hari, dengan bendera nasional di gedung-gedung pemerintah berkibar setengah tiang. Aquino, yang menjalani kehidupan pribadi setelah mengundurkan diri, meninggalkan empat saudara perempuan, dikutip dari Reuters, Sabtu (26/6).