REPUBLIKA.CO.ID, SYDNEY -- Australia membentuk satuan intelijen siber untuk melacak pendanaan terorisme, pencucian uang dan penyalahgunaan keuangan dalam jaringan, Selasa (9/8). Langkah itu diambil karena terdapat ancaman tak terduga pada keamanan nasionalnya.
Langkah itu adalah perpanjangan dari landasan utama Perdana Menteri Malcom Turnbull, yang konservatif dan menang tipis dalam pemilihan umum pada ulang bulan lalu setelah berjanji meningkatkan keamanan siber di Australia dan mengembangkan ekonomi menjadi pusat niaga dengan teknologi canggih.
Menteri Keuangan Michael Keenan mengatakan satuan baru di bawah badan pelacak uang, Australian Transaction Reports and Analysis Center (AUSTRAC), itu akan menyelidiki dasar pembayaran dalam jaringan dan kejahatan siber untuk keuangan guna melacak uang hasil pencucian dan jaringan kejahatannya.
"Kami menyadari penggunaan jati diri yag disamarkan masih berlanjut dipergunakan untuk melakukan tindak kejahatan siber dan terorisme," kata Keenan dalam pernyataannya.
Dalam pernyataan disebutkan unit AUSTRAC akan bekerja sama dengan badan pemerintah Australia dan Selandia Baru, untuk mengenali identitas petugas yang mendapat dana, kartu identitas, serta perekrutan tenaga kejahatan yang memanfaatkan orang polos untuk melakukan transaksi keuangan di luar hukum.
Satuan baru itu juga akan bekerjasama dengan jaringan Pelaporan Kejahatan Siber Australia untuk melihat pola dan kecenderungan yang bisa mengenali skema keuangan dalam skala besar atau pun metodologi mereka, kata Keenan.
Reuters sebelumnya melaporkan suatu keputusan yang dibuat bank-bank utama Australia untuk menghentikan pengiriman dana ke luar negeri menyebabkan munculnya transaksi keuangan luar negeri melalui usaha gelap, sehingga pihak berwenang semakin kesulitan untuk melacaknya.
Pada Februari, seorang peretas tidak dikenal mencuri uang hampir satu miliar dolar dari Bank Pusat Bangladesh di New York dan berhasil memindahkan 81 juta dana ke empat akun bank di RCBC di Manila.