Kamis 22 Sep 2016 12:06 WIB

Ternyata, Australia Miliki Sejarah Panjang Penolakan Imigran

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Agus Yulianto
Pengungsi dan imigran. (Ilustrasi)
Foto: Reuters
Pengungsi dan imigran. (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, CANBERRA -- Baru-baru ini, jajak pendapat menemukan hampir setengah warga Australia inginkan pelarangan imigran Muslim. Ternyata, Australia sendiri bukan sekali melakukan penolakan dan malah sudah memiliki sejarah panjang.

Pada 1947, perahu yang membawa pengungsi Yahudi melakukan perjalanan ke Australia, yang surat kabar mengatakan membawa 3.000 orang menggunakan tiga kapal. Sejarawan ekonomi Australia, George Megalogenis, menulis di Australia Second Change, kalau media yang melebih-lebihkan, sebab cuma ada 700 orang pengungsi.

Belum selesai, 16 Maret 1947 ketika perahu merapat, Courier Mail menulis '700 Yahudi Tiba, Membawa Perhiasan dan Belian Mahal'. Ternyata, barang-barang yang dibawa dinilai lebih layak diberitakan daripada apa yang para pengungsi alami, sampai-sampai harus melarikan diri.

Jajak pendapat yang diambil pada 1947 menunjukkan, 58 persen warga Australia, menentang negaranya mengambil bagian dalam rencana global membantu pengungsi Yahudi dari Eropa. Bahkan, selain propaganda media dan opini publik, politisi Australia ikut menjadi sosok penting penolakan imigran kala itu.

"Kami tidak diharuskan menerima mereka yang tidak diinginkan dunia dan didikte PBB atau siapapun. Australia tidak harus menjadi tempat pembuangan dari orang-orang Eropa itu sendiri," kata Parlemen Partai Liberal, Henry Gullet, kala itu seperti dilansir Buzz Fedd, Kamis (22/9).

Sebelum Yahudi, Australia menolak pengungsi Eropa non-Inggris seperti Italia, Yunani dan Jerman, dengan xenophobia membuat pengungsi dikhawatirkan akan mengambil pekerjaan warga Australia. Pada pemilu 1928, politisi Partai Buruh, Ben Chifley, menuduh pemerintah telah memungkinkan banyak "alien" di Australia.

Kebijakan pemerintah Australia sampai awal 1970-an, menempatkan supremasi kepada imigran berkulit putih, dan membantu satu kelompok masyarakat terpinggirkan, yaitu mereka yang berasal dari Cina. Bahkan, Menteri Imigrasi Australia kala itu, Arthur Calwell, sempat melontarkan candaan berbau rasis tentang pria Cina.

"Nama pria itu adalah Wong, ada banyak Wongs dalam komunitas Cina, tapi saya harus mengatakan kalau dua Wong pun tidak membuat mereka putih," ujar Calwell.

Pada 1970, Australia sempat memperluas program imigrasi dan kemanusiaan dengan menerima gelombang pengungsi Vietnam. Namun, masyarakat dan sejumlah politisi Australia kala itu tidak benar-benar menerima kedatangan pengungsi Vietnam.

Pimpinan Gerakan Serikat, Bob Hawke, setahun sebelum menjadi Perdana Menteri, dituduh sebagai pihak yang memainkan 'kartu as' soal pengungsi kala itu. Ia berpendapat, setiap bangsa yang berdaulat memiliki hak menentukan cara melaksanakan kasih sayang dan meningkatkan populasi.

"Tentu saja kita harus memiliki kasih sayang, tapi orang-orang yang datang dengan cara ini bukan satu-satunya orang di dunia yang memiliki hak untuk kasih sayang kami," kata Hawke.

Pada 1990-an, Pauline Hanson memulai langkah politik dengan mengarahkan perhatian terhadap penduduk pribumi Australia dan Asia. "Saya percaya kita berada dalam bahaya dibanjiri orang-orang Asia, mereka memiliki budaya dan agama mereka sendiri," ujar Hanson di pidato pertamanya pada 1996.

Selama sedekade terakhir, sorotan telah berayun kepada Muslim yang sebagian besar didorong ekstrimisme dan banyaknya pencari suaka di dunia. Hal itu terbukti dari jajak pendapat yang dilakukan Essential Media Communications baru-baru ini, yang menemukan hampir setengah warga Australia (49 persen) menginginkan pelarangan terhadap imigran Muslim.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement