REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Menurut laporan terbaru dari Rabobank, Australia membuang 10 miliar dolar (atau setara Rp 100 triliun) makanan setiap tahunnya.
Studi ini juga menemukan, rumah tangga membuang 14 persen bahan makanan mingguan mereka, yang setara dengan lebih dari 1.000 dolar (atau Rp 10 juta) terbuang per rumah tangga per tahunnya.
Kepala riset pasar Rabobank, Glenn Wealands mengatakan masyarakat harus lebih sadar akan berapa banyak makanan yang mereka buang dan dampak yang ditimbulkan terhadap ketahanan pangan di masa depan. "Jika kami melihat gambaran besarnya secara global, pada tahun 2050, kita akan memiliki populasi sembilan miliar orang, yang secara efektif artinya memberi makan 158 mulut setiap menitnya," jelas Glenn Wealands.
Ia menerangkan, "Ada beberapa tantangan besar dan saya pikir hal utamanya adalah untuk memulai dengan kesadaran dan pengakuan bahwa produksi pangan dan pertanian adalah sumber daya yang terbatas.”
"[Ini adalah waktunya] bagi warga Australia, setiap hari, mulai dengan pemikiran tentang berapa banyak makanan terbuang dan kemudian dari sana jadilah kreatif [dengan sisa makanan]," tambahnya.
Perhitungan Rabobank menunjukkan, jumlah limbah makanan nasional Australia telah meningkat 6% dalam tiga tahun terakhir.
Lebih dari 2.000 orang disurvei untuk survei terbaru Rabobank, dengan New South Wales muncul menjadi rumah bagi sebagian besar pembuang makanan. Sebanyak 18 persen responden survei mengatakan, mereka membuang 20 persen dari makanan mereka setiap minggunya.
Glenn mengatakan, pendorong terbesarnya adalah kurangnya kesadaran di kalangan konsumen tentang bagaimana makanan mereka diproduksi.
"Ada kesadaran kuat terhadap pentingnya makanan dan pertanian dalam ekonomi Australia tapi hanya ada sedikit pengetahuan yang dimiliki sebagian besar warga Australia tentang bagaimana asal-usul mereka ... dengan kata lain, dari mana makanan dan serat yang dikonsumsi masyarakat berasal?," tuturnya.
Petani prihatinkan tingkat makanan yang terbuang
Petani asal utara Queensland, Jamie dan Melita Jurgen, ambil bagian dalam studi Rabobank tersebut. Mereka menanam berbagai buah dan sayuran di pertanian Bowen milik mereka, termasuk tomat, capsicums manis dan cabai.
Jamie mengatakan, tingkat limbahnya mengkhawatirkan dan menyoroti fakta bahwa konsumen perlu memikirkan dampak masa depan pertanian dan ketahanan pangan. "Kami memiliki dua kapling limbah makanan, limbah setelah kami memanennya berkat masalah kemasan dan kemudian setelah konsumen membelinya, muncul limbah pula di sana," kata Jamie Jurgen.
Ia menuturkan, "Di pertanian, kami menggunakan limbah dari gudang kemasan kami untuk pengomposan dan menyebarkannya kembali ke tanah kami, jadi jika itu berasal dari pertanian, ia harus kembali untuk pertanian.”
"Ini adalah tentang mendidik kembali masyarakat bagaimana menggunakan makanan dan bagaimana mempersiapkannya, hal yang sama dengan apa yang orang tua dan kakek-nenek kita lakukan ketika mereka melalui resesi ... tak ada ruang untuk membuang makanan apapun," tegasnya.