Selasa 04 Oct 2016 14:47 WIB

Turki Tangguhkan 12.801 Polisi Terkait Gulen

Rep: MgRol81/ Red: Teguh Firmansyah
Dua dari beberapa tentara pro-kudeta Turki yang kabur ke Yunani dibawa ke pengadilan di Alexandroupoli, Yunani.
Foto: Reuters
Dua dari beberapa tentara pro-kudeta Turki yang kabur ke Yunani dibawa ke pengadilan di Alexandroupoli, Yunani.

REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Pemerintah Turki telah menangguhkan 12.801 petugas polisi di seluruh negeri. Hal tersebut diungkapkan oleh  kantor polisi pusat, Selasa (4/10). Mereka diduga memiliki hubungan dengan ulama berbasis AS Fethullah Gulen dan jaringannya yang dituduh mendalangi kudeta gagal pada Juli lalu.

Langkah itu muncul setelah Kementerian Dalam Negeri Turki meluncurkan penyelidikan di kepolisian, sehari usai pemerintah memperpanjang keadaan darurat selama tiga bulan.
 
Seperti yang dilansir dari Reuters, dari 250 ribu total polisi di Turki, 2.532 yang diberhentikan Ankara menjabat sebagai kepala polisi.
 
Menurut catatan, sekitar 100 ribu orang di militer, layanan sipil, polisi dan peradilan telah dipecat atau ditangguhkan dalam penumpasan pascakudeta. Setidaknya 32 ribu orang telah ditangkap karena dugaan keterlibatan mereka dalam kudeta gagal.
 
Presiden Turki Tayyip Erdogan mengatakan pekan lalu, Turki akan mendapat manfaat dari perpanjangan keadaan darurat selama tiga bulan sejak 15 Juli. Erdogan memerlukan banyak waktu untuk memburu mereka yang bertanggung jawab dalam kudeta tersebut. Dia menyebutkan keadaan darurat itu mungkin akan diperpanjang hingga lebih dari satu tahun.
 
Baca juga,  Kudeta Militer Turki Terkoordinasi Baik dan Hampir Berhasil.

Tindakan keras Erdogan telah menimbulkan kekhawatiran dari kelompok hak asasi manusia (HAM) dan sekutu Baratnya. Erdogan dikhawatirkan akan memanfaatkan kudeta gagal tersebut sebagai dalih untuk menumpas semua pihak yang tak sependapat dengannya, dan mengintensifkan tindakan melawan simpatisan militan Kurdi.

Turki ingin Amerika Serikat mengekstradisi Gulen yang dituduh berada di balik kudeta. Gulen, yang telah tinggal di pengasingan di Pennsylvania sejak tahun 1999, menyangkal keterlibatannya atas kudeta tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement