REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pasukan pro-pemerintah Libya maju ke daerah terakhir yang dikuasai oleh kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Di kota pesisir Libya, Sirte, pasukan pemerintah Libya mengepung kelompok militan tersebut setelah lima bulan menggelar operasi militer didukung serangan udara Amerika Serikat.
Sedikitnya delapan pasukan pro-pemerintah tewas dalam pertempuran akhir pekan lalu saat menyebar ke dalam 600 blok di wilayah pusat Sirte. Seperti dikutip Reuters, pejabat menyatakan, hambatan utama kemajuan pasukan mereka adalah para penembak jitu dan ranjau yang tersebar di berbagai daerah.
Menurut pantauan Reuters, pasukan pro-pemerintah menyisir dua jalan di pusat Sirte pada Ahad (9/10), tapi menghadapi perlawanan dan mendapati alat peledak di banyak bangunan.
ISIS mengambil alih Sirte setahun yang lalu dan menyebabkan kekacauan dan kekerasan di Libya sejak penggulingan pemimpin Muamar Qadafi pada 2011. ISIS diduga ingin mengukir markas baru di Libya, jauh dari wilayah utamanya di Irak dan Suriah.
Kehilangan Sirte dipercaya akan menjadi pukulan besar bagi ISIS. Tapi para pejabat menyatakan sejumlah pejuang dan komandan ISIS telah melarikan diri sebelum pasukan pro-pemerintah mengepung Sirte.
Baca juga, Libya Kandidat Kuat Markas Baru ISIS.
Para pejabat juga percaya pejuang ISIS akan terus mengobarkan serangan gerilya bahkan setelah dipukul mundur dari kota tersebut.
Pengepungan ini dipimpin oleh pasukan Bonyan Marsous, terutama pejuang dari kota Misrata. Pejuang ini mendukung pemerintahan buatan PBB di Tripoli, yang mencoba untuk menyatukan faksi yang bertikai.
"Pasukan dari Bonyan Marsous membuat beberapa kemajuan dan benar-benar mengepung daerah 600 blok di Sirte," kata media resmi pasukan Misrata, Ali Almabrouk.
Mohamed Ghasri, juru bicara pasukan pro-pemerintah, mengatakan, dua milisi ISIS perempuan melarikan diri dengan tiga anak-anak mereka dan menyerah. Mereka mengatakan kepada pasukan Misrata bahwa tidak ingin digunakan dalam serangan bunuh diri.