Jumat 21 Oct 2016 15:15 WIB

Kesedihan Muslim Thailand atas Mangkatnya Raja Bhumibol

Konvoi kendaraan kerajaan yang membawa jasad Raja Thailand Bhumibol Adulyadej dari Siriraj Hospital menuju Istana di Bangkok, Jumat, 14 Oktober 2016.
Foto: AP Photo/Wason Wanichakorn
Konvoi kendaraan kerajaan yang membawa jasad Raja Thailand Bhumibol Adulyadej dari Siriraj Hospital menuju Istana di Bangkok, Jumat, 14 Oktober 2016.

REPUBLIKA.CO.ID, YALA -- Hayim Mohammed Tolema berusia 12 tahun saat Raja Thailand Bhumibol Adulayadej berkunjung ke provinsinya di wilayah selatan dan bom yang ditanam pemberontak meledak dan melukai puluhan orang. Rakyat di pelosok Thailand berkabung atas kematian Raja Bhumibol Adulyadej atau Rama IX pada usia 88 tahun, Kamis pekan lalu, setelah 70 tahun bertakhta.

Wilayah selatan, yang berpenduduk sebagian besar suku Melayu, beberapa dasawarsa didera kekerasan menentang pemerintahan Thailand. Masyarakatnya juga turut bersedih dan beberapa di antaranya mengingat satu hari pada 39 tahun lalu saat kunjungan raja.

"Saat saya lihat dia, saya terdiam. Saya begitu dekat," kata Tolema, yang saat ini berusia 51 tahun dan menjadi imam masjid Desa Balor, Provinsi Yala.

Tolema mengaku tidak bisa tidur semalam sebelumnya setelah ayahnya menyampaikan Rama IX akan datang. Dia bersama ayahnya menuju taman untuk melihat sekilas Sang Raja dan Ratu Sirikit bersama ratusan orang lainnya.

Sebanyak 77 orang terluka pada 22 September 1977 saat bom meledak, demikian menurut koran pada saat itu. Tolema mengaku ingat apa pun itu, mulai dari ledakan, kepanikan, dan ketenangan raja untuk meyakinkan rakyatnya. "Saya masih tidak percaya dia pergi," katanya.

Raja Bhumibol Adulyadej menghabiskan beberapa dasawarsa bekerja memperbaiki nasib rakyatnya yang miskin di wilayah Thailand yang dilanda pemberontakan komunis dan kelompok separatis Muslim. Komunis ditaklukkan beberapa tahun lalu, namun kekerasan di wilayah mayoritas Muslim di selatan terus meningkat sejak 2004, lebih dari 6.500 orang tewas sejak saat itu, demikian data dari tim pengawas.

Bendera di gedung pemerintahan di Yala berkibar setengah tiang seperti di beberapa daerah lain di Thailand. Namun, saat beberapa foto Sang Raja terpasang di pelosok negeri, hanya sedikit yang terpasang di Yala yang menurut tradisi Islam tidak boleh menggambar orang.

"Hanya karena tidak memasang foto mendiang atau mengenakan pakaian hitam setiap waktu, bukan berarti kami tidak mengalami kesedihan yang mendalam," kata Tolema.

Yala bersama Narathiwat dan Pattani adalah provinsi berpenduduk sebagian suku Melayu di negara berpenduduk mayoritas Siam itu. "Umat Islam juga sangat sedih, namun mereka mengekspresikannya dalam diri mereka sesuai dengan agama yang mereka anut," kata wakil juru bicara militer, Yuthanam Petchmuang.

Tolema mengajari jemaahnya tentang kebijakan Sang Raja soal perawatan kesehatan dan pertanian serta bagaimana dia berupaya mendamaikan perpecahan masyarakat. "Ayah berkata kepada saya setelah kunjungan itu, Sang Raja tidak seperti pejabat pemerintah lain karena ia adalah satu-satunya yang berupaya membuat hidup kita lebih baik," katanya, dikutip Antara News.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement