Kamis 17 Nov 2016 14:44 WIB

Pencari Suaka di Indonesia tidak akan Manfaatkan Perjanjian Australia-AS

Khalil Payeez meninggalkan Pakistan tiga tahun lalu dan telah tinggal di Bogor selama tiga tahun.
Foto: ABC
Khalil Payeez meninggalkan Pakistan tiga tahun lalu dan telah tinggal di Bogor selama tiga tahun.

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Para pencari suaka di Indonesia yang sedang menunggu pemukiman kembali mengatakan tidak bermaksud berusaha mencapai Australia saat ini untuk mengambil keuntungan dari perjanjian pemukiman pengungsi antara Australia dan Amerika Serikat

Kota Bogor selama ini menjadi tempat berkumpul para pencari suaka yang berharap bisa mencapai Australia dengan kapal. Namun sekarang itu tidak terjadi lagi. Khalil Payeez, seorang warga asal Afghanistan dari suku Hazara, sudah tinggal di Bogor selama tiga tahun terakhir sejak dia meninggalkan Pakistan.

Dia mengatakan jalur lewat sekarang sudah tertutup bagi mereka. Dia menambahkan pengumuman minggu ini yang dikeluarkan pemerintahan Australia mengenai perjanjian pencari suaka dengan Amerika Serikat tidak mengubah apa pun.

"Kami tahu sekarang kami memasuki Australia lewat laut, maka kami tidak akan bisa bermukim di Australia. "Kami sudah melihat berbagai rekaman di YouTube mengenai hal itu dalam berbagai bahasa. Jadi saya kira kami tidak bisa ke sana. Komunitas, mereka sekarang tinggal di Indonesia, dan mereka cukup puas dengan proses yang ada. Mereka puas dengan kerja UNHCR (badan pengungsi PBB), meskipun agak lambat," katanya.

Pengungsi yang mengajukan permintaan pemukiman kembali setelah berada di Indonesia, harus menunggu selama empat atau lima tahujn sebelum diterima oleh negara lain. Payeez mendaftar sebagai pengungsi tiga tahun lalu.

Dia masih berharap akan diterima oleh negara ketiga seperti Amerika Serikat atau Australia, dan bagi pengungsi seperti dia, berusaha mencapai Australia dengan kapal, hanya akan menggagalkan semua yang sudah dinantinya.

Kerja sama dengan AS sudah diketahui

Menurut Paul Dillon, seorang staf International Organisation for Migration (IOM) di Jakarta berita mengenai persetujuan dengan Amerika Serikat sudah diketahui luas di kalangan pencari suaka. "Banyak orang yang kami tangani di sini melek sosial media. Mereka menggunakan Skype, Viber dan Facetime, sehingga mereka bisa berbicara dengan teman dan sanak keluarga di seluruh dunia," katanya.

Dillon mengatakan IOM juga menyediakan informasi kepada para pengungsi. "Kami mempekerjakan 22 penterjemah sehingga mereka secara teratur memberikan informasi mengenai kebijakan mengenai migran yang dibuat oleh pemerintah Australia, khususnya mengenai mereka yang ingin datang dengan kapal. Jadi ketika kami mendapat informasi tersebut, kami secara menyebarkannya ke berbagai pusat penahanan imigrasi, dan juga fasilitas komunitas, dan memberitahu mereka bahwa inilah yang sekarang terjadi dan inilah dampaknya bagi Anda," ujarnya.

Australia sudah mengatakan akan mengerahkan kapal perang ke perairan di sebelah utara untuk mencegah gelombang baru pencari suaka. Namun di Indonesia pengerahan militer tersebut dianggap tidak diperlukan.

Berita dari mulut ke mulut dan juga informasi dari pemerintah Australia dan organisasi pengungsi, telah membuat posisi Australia jelas. "Setelah mereka menunggu beberapa tahun, dimana hidup mereka praktis tidak bergerak dan sekarang kita lihat antrian di depan kita mulai bergerak, maka ini akan menjadi motivasi besar bagi orang untuk mengikuti cara ini," kata Dillon.

"Mereka sudah menunggu lama untuk dimukimkan kembali. Ini adalah keputusan susah bila kita ingin berjudi dan berusaha masuk ke sana menggunakan kapal."

Juga ada faktor pencegah lainnya.

Tahira, a Hazara woman, smiles at the camera.
Tahira datang ke Indonesia dari Quetta dan menemukan suaminya meninggal di laut dalam perjalanan ke Australia. ABC News: Ari Wu

Tahira, yang juga adalah warga Hazara, tiba di Indonesia dari Quetta (Pakistan) untuk mengetahui nasib suaminya. Suaminya menuju ke Christmas Island dengan kapal bersama 22 orang lainnya di tahun 2012. Kapal itu tidak pernah sampai ke sana, dan Tahira sekarang mendukung kebijakan apapun yang menganjurkan orang untuk tidak membahayakan diri dengan berusaha mencapai Australia lewat laut.

"Saya sudah mendengar, dan melihat di Facebook, banyak berita Australia menghalangi datangnya kapal-kapal. Saya setuju sepenuhnya karena saya sudah kehilangan tiga anggota keluarga, suami saya, saudara laki-laki dan keponakan. Jadi saya tidak mendukung hal tersebut. Datang dengan kapal hanya membuat hidup kita ada dalam bahaya. Peluangnya 50/50 apakah kita akan sampai ke sana atau tidak," ujarnya.

sumber : http://www.australiaplus.com/indonesian/berita/pencari-suaka-di-indonesia-tidak-akan-memanfaatkan-perjanjain-d/8032792
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement