REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Pemerintah Cina belum memutuskan kapan akan membuka kedutaan besarnya di Nauru setelah negara di Kepulauan Pasifik itu mengakhiri hubungan diplomatik dengan Taiwan dan memilih untuk memulihkan hubungannya dengan Beijing. "Kami akan merilis pengaturan khusus mengenai pemulihan hubungan diplomatik antara Cina dan Nauru pada waktunya," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Mao Ning, kepada media di Beijing pada Rabu (17/1/2024).
Nauru pada Senin (15/1/2024) dikabarkan telah memutus hubungan diplomatik dengan Taiwan dengan menyatakan tidak akan lagi mengakui Taiwan sebagai "negara terpisah", melainkan "sebagai bagian yang tak terpisahkan dari wilayah Cina". Pemerintah Nauru juga mengatakan tidak lagi mengembangkan hubungan resmi dengan Taiwan.
Pernyataan Nauru itu disampaikan usai pemilu Taiwan digelar pada Sabtu (13/1/2024) dan dimenangkan oleh William Lai Ching-te dari Partai Progresif Demokratik (DPP). "Saya ingin menekankan bahwa sebagai keputusan kolektif yang dibuat dalam rapat kabinet, pemerintahan Nauru mengakui prinsip 'Satu Cina', memutuskan 'hubungan diplomatik' dengan Taiwan dan berupaya membangun kembali hubungan diplomatik dengan Cina demi memenuhi aspirasi masyarakat Nauru," kata Mao Ning.
Nauru mulai menjalin hubungan diplomatik dengan China pada 2002. Namun pada 2005, Nauru menjalin hubungan diplomatik dengan Taiwan dan memutus hubungan dengan Cina.
"Cina menghargai dan menyambut baik keputusan Nauru untuk memutus 'hubungan diplomatik' dengan Taiwan dan mengembalikan hubungan diplomatik dengan Cina. Kami siap bekerja sama dengan Nauru untuk membuka babak baru dalam hubungan bilateral berdasarkan prinsip 'Satu Cina'," kata Mao Ning.
Menurut dia, setelah pemulihan hubungan diplomatik, Cina dan Nauru akan bekerja sama di berbagai bidang atas dasar kesetaraan, saling menghormati, saling menguntungkan, terbuka dan inklusif. "Kami tidak akan menetapkan batasan mengenai bidang kerja sama, bidang-bidang tersebut akan ditentukan melalui pembicaraan kedua pihak," katanya.
Dia juga mengatakan, China tidak ikut campur dalam keputusan Nauru itu, seperti yang dikatakan oleh Wakil Menteri Luar Negeri Taiwan Tien Chung-kwang bahwa perubahan sikap Nauru itu adalah siasat China untuk menekan capaian demokrasi Taiwan. "Sikap Nauru adalah keputusan kolektif kabinet Nauru dan pilihan tepat yang dibuat secara independen oleh Nauru sebagai negara berdaulat. Parlemen Nauru dengan suara bulat mengadopsi resolusi untuk mendukung dan menegaskan keputusan pemerintah Nauru untuk melanjutkan hubungan diplomatik dengan Cina dan berkomitmen untuk memperkuat hubungan diplomatik Nauru dengan China," kata Mao Ning.
Dia juga membantah adanya "diplomasi dolar" dari Cina sebagai iming-iming kepada Pemerintah Nauru. "Perlu dipahami bahwa ada hal-hal yang tidak dapat dibeli oleh uang. Prinsip 'Satu Cina' merupakan prinsip fundamental yang tidak dapat diperdagangkan dan merupakan konsensus internasional yang berlaku," kata dia.
Sebagai negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia, Cina, kata Mao Ning, dapat memberikan kesempatan kepada Nauru untuk melakukan kerja sama praktis di berbagai bidang dan peluang pembangunan di Nauru. Menyusul keputusan Nauru tersebut, Taiwan dikabarkan akan menutup kedutaan besarnya di Nauru dan meminta Nauru menutup kedutaan besarnya di Taipei.
Dengan keputusan itu, kini hanya ada 12 negara yang menjalin hubungan diplomatik resmi dengan Taiwan, di antaranya, Belize, Eswantini, Guatemala, Haiti, Saint Kitts dan Nevis, Saint Lucia, Saint Vincent dan Grenadines, Kepulauan Marshall, Palau, Tuvalu, Paraguay dan Vatikan.