Ahad 27 Nov 2016 16:36 WIB

Muslim Rohingya Alami Depresi Akibat Pemerkosaan

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Damanhuri Zuhri
Muslim Rohingya (ilustrasi)
Foto: Antara/Rahmad
Muslim Rohingya (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Pemerkosaan brutal membuat perempuan-perempuan Rohingya mengalami depresi berat. Salah satu dari mereka adalah Habiba (20) dan adik perempuannya, Samira (18), yang mengaku selalu ingin melarikan diri dari Myanmar ke Bangladesh.

Habiba mengatakan, ia dan adiknya menjadi korban pemerkosaan di rumah mereka, di Desa Udang, oleh pasukan Myanmar. Selain memperkosa, para pasukan juga membakar rumah mereka. "Mereka mengikat kami berdua di tempat tidur dan memperkosa kami satu per satu," ujar Habiba, dikutip Mizzima.

Pembakaran rumah yang dilakukan pasukan Myanmar telah menghancurkan sebagian besar rumah mereka. Tak hanya itu, ayah mereka ikut tewas terbakar di dalam rumah.

"Salah satu tentara mengatakan kepada kami sebelum pergi, mereka akan membunuh kami jika mereka melihat kami ketika mereka datang ke sini lagi. Kemudian mereka membakar rumah kami," jelasnya.

Beruntung Habiba dan Samira dapat menemukan tempat berlindung. Keduanya berkumpul dengan kakak tertua mereka, Hashim Ullah, di kamp pengungsian, beberapa kilometer dari perbatasan Bangladesh Myanmar.

"Kami hampir kelaparan di sini. Tapi setidaknya tidak ada yang datang ke sini untuk membunuh atau melakukan penyiksaan," kata Ullah.

Ullah bersama dua adiknya melarikan diri setelah mengambil uang sebesar Rp 5,2 juta dari tabungan keluarga. Mereka berjalan ke Sungai Naf yang memisahkan Bangladesh selatan dengan Negara Bagian Rakhine Myanmar.

Mereka menghabiskan empat hari bersembunyi di bukit-bukit dengan ratusan keluarga Rohingya lainnya. Lalu mereka menemukan seorang pemilik perahu yang bersedia membawa mereka ke Bangladesh. "Dia meminta semua uang kita," kata Ullah.

Pemilik perahu meninggalkan mereka di sebuah pulau kecil di dekat perbatasan. Mereka berjalan melintasi semak belukar sampai menemukan sebuah keluarga yang menawarkan tempat berlindung.

Laporan pemerkosaan telah menimbulkan kekhawatiran bahwa pasukan Myanmar telah secara sistematis menggunakan kekerasan seksual sebagai alat perang terhadap etnis Rohingya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement