REPUBLIKA.CO.ID, ABIDJAN -- Pemerintah Pantai Gading belum membayar bonus yang dijanjikan kepada tentara untuk mengakhiri pemberontakan militer dua hari dan ada kebingungan atas berapa banyak jumlah yang telah disepakati.
Situasi tersebut mempertaruhkan terulangnya kerusuhan yang melumpuhkan negara itu, kata pemberontak pada Selasa (10/1). Para tentara, kebanyakan merupakan mantan pemberontak yang sekarang bergabung di angkatan bersenjata, menguasai Bouake, kota terbesar kedua pada Jumat dan tentara di kamp-kamp militer di seluruh negeri, termasuk di ibu kota komersial Abidjan yang kemudian bergabung dengan pemberontakan.
"Kawan-kawan kami ingin uang mereka sekarang. Orang-orang tidak senang karena mereka belum menerima uang mereka, sehingga semuanya bisa terjadi kembali," kata negosiator untuk pemberontak yang meminta untuk tidak disebutkan identitasnya.
Di antara tuntutan utama para prajurit ialah "bonus" yang menurut mereka mereka dijanjikan menjelang serangan yang didukung PBB dan Prancis pada 2011 untuk menggulingkan Presiden Laurent Gbagbo setelah ia menolak untuk menerima kemenangan jajak pendapat Alassane Ouattara pada akhir 2010.
"Ini senilai 12 juta CFA Franc (atau 19.274 dolar Amerika), dan itulah apa yang kita tunggu," kata prajurit lain yang dinegosiasikan atas nama pemberontak selama pembicaraan yang berakhir pemberontakan pada Sabtu.
Prajurit, yang juga meminta untuk tidak disebutkan namanya, mengatakan melalui perjanjian yang dilakukan Menteri Pertahanan Alain-Richard Donwahi, pemerintah dimaksudkan untuk mulai membayar bonus pada Senin, tetapi tidak ada uang sedikit pun telah diberikan pada tentara.
Membayar bonus tersebut kemungkinan akan membebani Pantai Gading puluhan juta dolar yang bisa digunakan untuk berjuang memobilisasi cepat. Pantai Gading telah stabil sejak serangkaian perang dan krisis politik selama hampir satu dekade, merusak negara yang dulunya menjadi bangsa paling makmur Afrika Barat.
Negara ini telah pulih menjadi salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat di dunia, dan tetap menjadi negara Afrika Barat berbahasa Prancis yang paling penting. Tapi perang saudara selama bertahun-tahun dan kegagalan untuk mereformasi militernya, yang kebanyakan mantan pejuang pemberontak dan tentara pemerintah beberapa di antaranya pernah berjuang satu sama lain, telah meninggalkannya dengan pasukan yang tidak disiplin.
Donwahi membantah pemerintah telah berjanji untuk membayar bonus tertentu yang dituntut oleh para prajurit dan mengatakan telah setuju untuk membayar apa yang disebut bonus misi, meskipun ia menolak untuk memberikan rincian.
"Presiden sangat jelas tentang hal ini, bonus tersebut tidak ada," kata Donwahi, yang akan kembali ke Bouake pada hari Jumat untuk menemui tentara.