Ahad 29 Jan 2017 20:14 WIB

AS Blokir Penumpang Pesawat Muslim Tujuan Bandara JFK

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Citra Listya Rini
Pengunjuk rasa membentang spanduk menentang kebijakan pelarangan masuk AS bagi sejumlah negara Muslim di Bandara JFK, New York, AS, (29/1).
Foto: Reuters
Pengunjuk rasa membentang spanduk menentang kebijakan pelarangan masuk AS bagi sejumlah negara Muslim di Bandara JFK, New York, AS, (29/1).

REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Sejumlah penumpang diblokir saat hendak melakukan penerbangan ke Bandara John F Kennedy (JFK), New York, Amerika Serikat (AS). Hal itu dilakukan sesaat setelah Presiden Donald Trump menandatangani kebijakan eksekutif yang melarang warga dari tujuh negara mayoritas Muslim untuk memasuki AS.

Pejabat Bandara Kairo, Mesir, mengkonfirmasi tujuh migran, terdiri atas enam imigran Irak dan satu imigran Yaman, telah diblokir saat hendak menuju AS, pada Sabtu (28/1). Mereka dicegah naik ke penerbangan EgyptAir menuju New York, dalam beberapa jam setelah Trump mengumumkan kebijakan baru itu.

Ketujuh migran itu dikawal ke bandara oleh pejabat dari badan pengungsi PBB, UNHCR. Namun mereka dihentikan saat hendak naik pesawat, setelah pihak berwenang di bandara Kairo dihubungi oleh rekan-rekan mereka di Bandara JFK.

Para pejabat mengatakan, pemblokiran itu adalah insiden pertama sejak Trump memberlakukan larangan pemberian visa selama tiga bulan untuk tujuh negara mayoritas Muslim, yaitu Irak, Suriah, Iran, Sudan, Libya, Somalia, dan Yaman. Larangan itu juga berlaku untuk pengungsi dari negara-negara tersebut.

Seorang warga Iran pemegang kartu hijau yang tinggal permanen di AS, Ali Abdi, mengatakan sekarang ia tinggal di Dubai. Dia mengaku tidak bisa pergi ke Iran karena ia telah blak-blakan menentang pelanggaran hak asasi manusia di sana. Ia juga tidak dapat kembali ke AS karena adanya larangan visa, dan tidak bisa tinggal lebih lama di Dubai karena visanya akan habis.

"Saya seorang mahasiswa PhD antropologi di Amerika Serikat asal Iran. Saya meninggalkan New York pada 22 Januari, dua hari setelah ia (Trump) dilantik," kata Abdi dalam akun jejaring sosial Facebook, dikutip The Guardian.

"Sekarang di Dubai, saya sedang menunggu penerbitan visa saya untuk masuk Afghanistan, untuk melakukan penelitian etnografi. Bahasa perintah eksekutif rasis Trump terdengar ambigu, tetapi kemungkinan besar ia ingin mencegah penduduk tetap seperti saya untuk kembali ke negaranya, tempat saya harus mempertahankan tesis saya," ungkapnya.

"Sementara itu, itu belum jelas apakah konsulat Afghanistan di Dubai akan mengeluarkan visa yang saya butuhkan untuk tinggal di Kabul selama satu tahun. Saya tidak bisa tinggal di Dubai karena visa UEA saya akan berakhir. Tidak bijaksana untuk kembali ke Iran," tambah Abdi.

Sementara itu, kelompok-kelompok hak asasi manusia dan LSM mengatakan, mereka telah dibanjiri keluhan dari orang-orang yang khawatir mereka tidak akan dapat kembali ke AS. National Iran America Council (NIAC) menyarankan warga yang terkena dampak kebijakan Trump untuk mempertimbangkan rencana meninggalkan AS.

"Kami sangat menyarankan pemegang kartu hijau Iran tidak meninggalkan negara itu sampai kejelasan lebih lanjut tercapai," tulis NIAC di situs resminya.

American-Arab Anti-Discrimination Committee (ADC) mengatakan, mereka telah menerima laporan bahwa pemegang kartu hijau dan pemegang visa lainnya telah ditolak masuk ke AS di berbagai bandara.

"Saya mendengar laporan dari seseorang yang baru saja kembali ke AS dan sedang ditahan. Kami mulai mendapatkan pertanyaan dari orang-orang yang memiliki kartu hijau dan sedang berada di luar negeri. Apakah mereka akan diizinkan kembali ke AS. Kami mendapatkan pertanyaan dari orang-orang muda yang akan pergi ummas [ziarah Muslim]," kata Direktur Komunikasi Council on American-Islamic Relations (CAIR) Ibrahim Hooper.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement