REPUBLIKA.CO.ID, SYDNEY -- Presiden AS Donald Trump mengonfirmasi melalui telepon pemerintahannya akan menghormati kesepakatan pemukiman kembali pengungsi dengan Australia, kata Perdana Menteri Australia Malcolm Turnbull, Senin (30/1).
Pemerintahan AS yang sebelumnya telah sepakat memukimkan kembali sekitar 1.200 orang pencari suaka, sebagian besar dari Afghanistan, Iran dan Irak, yang berada di sejumlah lokasi pemrosesan Australia di beberapa pulau Pasifik terpencil di Papua Nugini dan Nauru.
Namun perintah eksekutif Trump pada Jumat, yang menghentikan program pengungsi negaranya, meragukan masa depan kesepakatan itu, yang rincian dan jangka waktunya tidak pernah diumumkan. "Kami membicarakan pentingnya keamanan perbatasan, kami juga membicarakan kesepakatan penempatan kembali para pengungsi dari Nauru dan Manus, yang dibahas oleh pemerintahan sebelumnya, dan saya berterima kasih kepada Presiden Trump atas komitmennya untuk menghormati kesepakatan itu," kata Turnbull.
Kedua pemimpin negara itu berbicara melalui telepon pada Ahad, kata Turbull kepada para wartawan di Canberra. Pembicaraan itu menjadi salah satu dialog yang dilakukan presiden AS dengan para pemimpin dunia, termasuk Presiden Rusia Vladimir Putin, Kanselir Jerman Angela Merkel dan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe.
Para pejabat Keamanan Dalam Negeri AS telah mulai memeriksa para pencari suaka, meskipun masih belum jelas kapan mereka yang merupakan pengungsi murni itu akan dipindahkan. Berdasarkan kesepakatan itu, Australia akan memulangkan para pengungsi yang berasal dari El Savador, Guatemala dan Honduras.
Konfirmasi kesepakatan itu akan dilanjutkan setelah Trump menandatangani sebuah keputusan eksekutif yang akan memberikan waktu empat bulan sebelum mengizinkan para pengungsi memasuki Amerika Serikat, dan melarang para pengunjung dari Suriah dan enam negara mayoritas Muslim lainnya seperti Iran dan Irak untuk sementara waktu.
Di Sydney, kurang lebih 150 orang massa berdemo pada Ahad, yang mendukung Trump dan menuntut Australia memberlakukan larangan terhadap imigran-imigran dari negara mayoritas Muslim. Turnbull sendiri tidak mengeluarkan komentar terkait kebijakan Trump, dia mengatakan "Itu bukan tugas saya sebagai perdana menteri Australia, untuk berkomentar terkait kebijakan domestik negara lain".
Belum ada warga Australia berkewarganegaraan ganda yang terpengaruh oleh ketentuan itu yang mencari bantuan untuk memasuki AS. Kebijakan imigrasi garis keras Australia merupakan sebuah isu besar yang menuai kritikan internasional dari PBB dan sejumlah kelompok hak asasi lainnya, namun masih mendapatkan dukungan besar dari dalam negeri dan dari kalangan elite politik.
Sejumlah partai politik yang dulunya terpinggirkan seperti One Nation milik Pauline Hanson, telah mendapatkan dukungan yang luas. Partai itu seringkali menyerukan larangan untuk para imigran Muslim.
Australia, yang merupakan sekutu AS, berada dalam siaga tinggi terhadap serangan-serangan yang dilakukan oleh para ekstremis dalam negeri sejak 2014, dan pihak berwenang telah mengatakan mereka berhasil menggagalkan sejumlah rencana kekerasan.