REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD -- Menteri Pertahanan Amerika Serikat Jim Mattis menegaskan, kedatangnya ke Irak bukan untuk merebut minyak negara tersebut. Mattis menjadi pejabat tertinggi pemerintahan Donald Trump yang menginjakan kaki di Irak, setelah Presiden Amerika Serikat tersebut membuat Irak jengkel dengan kebijakannya yang melarang warga Irak masuk Amerika.
"Tidak ada siapa pun yang ingin merebut minyak di Irak," kata Mattis, Senin (20/2).
Irak juga tersinggung dengan pernyataan Trump. Trump mengatakan Amerika harus merebut minyak Irak setelah Amerika menggulingkan Sadam Hussein pada 2003 lalu.
"Kita harus tahan minyaknya. Tapi okay. Mungkin Anda akan memiliki kesempatan lainnya," kata Trump kepada staff The Central Intelligence Agency (CIA) pada Januari lalu.
Namun saat kedatangannnya ke Irak, Mattis dengan tegas mengesampikan niatan Amerika tersebut. "Kami semua di Amerika membayar untuk mendapatkan gas dan minyak dan saya yakin kami akan tetap membayarnya di masa depan," tegas Mattis.
Ia mengatakan, hal yang sama sekali lain dengan apa yang dikatakan Trump sebelumnya. Trump mengakui, memiliki perbedaan pandangan dengan Mattis. Trump tidak setuju pendapat Mattis tentang kegunaan penyiksaan dalam interogasi. Dan Trump sudah menyatakan akan menuruti Mattis tentang hal tersebut.
Mattis seorang pensiunan marinir yang pernah memimpin pasukan Amerika di Irak. Dalam kunjungannya, ia mengatakan, sedang berupaya agar warga Irak yang berkerja dengan tentara Amerika untuk tetap bisa diizinkan masuk Amerika. Termasuk mereka yang bekerja sebagai penerjemah.
"Sekarang saya yakin kami akan mengambil langkah untuk membiarkan orang yang bertempur bersama Amerika, misalnya, untuk diperbolehkan masuk Amerika," kata Mattis. Dalam kunjungannya Mattis bertemu dengan menteri pertahanan Irak dan pejabat-pejabat tinggi Amerika di Irak.