REPUBLIKA.CO.ID, NAIROBI -- Jumlah orang yang menghadapi kondisi rawan pangan parah di seluruh Tanduk Afrika yang lebih luas telah naik jadi 22,9 juta pada Februari, saat kekeringan yang berkepanjangan mengakibatkan gagal panen.
Kantor PBB bagi Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) memperingatkan kekeringan di Tanduk Afrika diperkirakan bertambah parah dalam beberapa bulan ke depan. Awal musim hujan dan tingkat ramalan curah hujan diperkirakan tertunda untuk Maret-Mei di kebanyakan Wilayah Tanduk Afrika.
"Kebutuhan dipicu oleh babak demi babak kemarau, yang telah mengakibatkan gagal panen secara berturut-turut, ditambah oleh konflik dan kondisi tidak aman, dan guncangan ekonomi yang mempengaruhi orang yang paling rentan," kata OCHA di dalam laporan terakhir Humanitarian Outlook, yang dikeluarkan di Ibu Kota Kenya, Nairobi.
Menurut PBB, dampak dari kekeringan bisa dibandingkan dengan dampak kekeringan akibat El Nino di Afrika Timur pada Oktober-November 2010, yang menyebabkan krisis gizi dan rawan pangan di wilayah tersebut pada 2011. Gagal panen luas dan catatan rendah sayuran, serta kematian ternak dalam jumlah banyak, saat ini terjadi di seluruh Somalia, Ethiopia Timur dan Selatan, dan Kenya Pantai dan Utara.
Menurut laporan tersebut, Kenya Barat, beberapa bagian barat daya Ethiopia, beberapa bagian Sudan Selatan dan Tengah, dan Uganda Timur terpengaruh sekalipun tidak parah. Sumber air dan rumput buat konsumsi ternak serta manusia berada pada tingkat sangat rendah di banyak wilayah, terutama di antara Somaliland dan Ethiopia Selatan.
Laporan itu dikeluarkan setelah kelaparan diumumkan di beberapa bagian Negara Bagian Unity di Sudan Selatan, sementara kondisi kemanusiaan di Somalia memburuk dengan cepat dan kelaparan sangat mungkin terjadi pada 2017. "Kekeringan parah, kenaikan harga, terbatasnya akses dan kondisi tidak aman yang terus melanda, selain ramalan hujan yang buruk menunjukkan kelaparan mungkin terjadi lagi di Somalia," demikian peringatan OCHA.
Penduduk yang menghadapi rawan pangan di Somalia bertambah dari lima juta pada September 2016 jadi lebih dari 6,2 juta pada Februari. "Ini meliputi peningkatan drastis jumlah orang dalam krisis dan kondisi darurat dari 1,1 juta enam bulan lalu jadi hampir tiga juta yang diproyeksikan untuk Februari sampai Juni," katanya.
OCHA menyatakan konflik telah menjadi penyebab utama pengungsian di seluruh perbatasan dan ancaman bagi keamanan rakyat. Ada empat juta pengungsi dan pencari suaka di wilayah itu, dan kebanyakan orang yang baru kehilangan tempat tinggal berasal dari Sudan Selatan. Lebih banyak orang telah menyelamatkan diri dari Sudan Selatan sejak Juli 2016 dibandingkan dengan yang dari Suriah sepanjang 2016.