Kamis 30 Mar 2017 07:41 WIB

Passion Cafe, Wadah Bersuara Perempuan Muslim di Adelaide

Suraya Sara sedang melakukan meditasi.
Foto: ABC
Suraya Sara sedang melakukan meditasi.

REPUBLIKA.CO.ID, ADELAIDE -- Di Adelaide (Australia Selatan), sebuah forum bernama Passion Cafe menjadi ajang bagi perempuan Muslim di negara bagian tersebut menyampaikan suara mereka, termasuk masalah rasisme di Australia dan juga mengatakan mereka tidaklah tertekan dalam hidup mereka.

Mencontoh hal yang sama yang sudah dilakukan di Melbourne beberapa tahun lalu oleh Dewan Islam di Victoria, sekarang Dewan Islam Australia Selatan menyelenggarakan forum bernama Passion Cafe tersebut, dimana para perempuan dari kalangan Muslim dan yang lainnya untuk bertemu tiga bulan sekali.

Dalam forum tersebut, mereka yang hadir diberi kesempatan selama tujuh menit untuk menyampaikan hal yang ingin mereka sampaikan,entah itu pengalaman pribadi atau yang lain. Salah seorang diantaranya adalah seorang ibu beranak dua, Suraya Sara.

Suraya Sara

Sara mengatakan dia bangga dengan kepribadiannya yang 'ramai', suka memberikan pendapat dan karenanya sebagian orang terheran-heran, karena dia kadang disebut tidak seperti perempuan Muslim lainnya.

"Apakah saya terlihat sebagai orang tertekan dan tidak mampu bersuara?" katanya.

Sara berbicara mengenai perlakuan buruk yang diterimanya ketika kecil, hal yang menurutnya terjadi pada 1 dari lima orang, dan kebanyakan tidak berani untuk berbicara secara terbuka. Sara mengatakan tekanan dan tidak bisa memberikan suara merupakan masalah yang dihadapi perempuan di mana saja, dan pendapat perempuan Muslim memang 'kadang tidak diperhatikan."

"Beberapa perempuan memutuskan untuk tidak mau berbicara karena masyarakat tidak menganggap mereka penting untuk didengar." katanya.

Menggunakan contoh aktivis muda asal Pakistan Malala Yousefzai, yang ditembak ketika dia melakukan kegiatan advokasi bagi hak perempuan untuk mendapatkan pendidikan, Sara mengatakan perempuan saat ini sudah mulai berani keluar dari norma-norma sosial yang selama ini diharapkan dari mereka, dan membuat perubahan.

"Saat ini ada kebangkitan di kalangan perempuan Muslim yang memiliki suara yang kuat dan ingin keluar dari norma yang ada," katanya.

Sarah Idris

Sarah Idris at work.
Sarah Idris bekerja sebagai radiografer di Adelaide.

ABC News: Sowaibah Hanafie

Bagi Sarah Idris, yang bekerja sebagai radiografer, yang sekarang sedang melanjutkan pendidikan S2, mendengar pengalaman perempuan lain yang sama dengannya, sangat membantu dirinya sendiri. Dia mengatakan ketika dia mendapat pekerjaan, seorang temannya mengatakan dia mendapatkan pekerjaan tersebut, hanya karena tempatnya bekerja menerima perempuan Muslim untuk terlihat bahwa mereka menerima orang dari segala golongan.

"Saya adalah satu dari tiga orang yang diterima, dan tidak seorang pun mengatakan karena saya bagus dan memang layak diterima." kata Idris.

"Tidak seorang pun yang mau mengakui saya pantas mendapat pekerjaan tersebut. Mereka mencoba melecehkan keberhasilan saya. "

Ketika ditanya mengenai perubahan dalam UU Diskriminasi Rasial di Australia dan disahkannya larangan penggunaan Hijab di Uni Eropa Idris mengatakan hal tersebut bertentangan dengan perkembangan dalam masyarakat yang seharusnya selalu bergerak maju dan bebas.

"Kita sudah mengalami kemajuan dan mengatasi berbagai rintangan sosial seperti hak perempuan untuk memberikan suara di pemilu, dan menghilangkan perbudakan," katanya.

"Ini bertentangan dengan apa yang sudah dilakukan generasi sebelumnya, yang sudah bekerja keras untuk mencapai semua ini."

Dia mengakui media memang harus melaporkan mengenai serangan teroris, namun menambahkan bahwa tidak banyak memberitakan hal-hal positif yang dilakukan kelompok masyarakat Muslim untuk menghilangkan radikalisasi, dan memberi sumbangan kepada masyarakat.

"Saya dibilang saya adalah Muslim yang berbeda, bahwa saya Muslim yang baik, hanya karena saya lahir di Australia. Ini sangat mengecewakan," kata Idris.

"Saya tidak menyalahkan mereka hanya mendengar cerita yang buruk mengenia Muslim.. banyak hal yang kami lakukan tidak mendapat pemberitaan.. hal yang kami lakukan sehari-hari yang diilhami oleh keyakinan kami."

Hafifa Khelwaty

Hafifa Khelwaty
Hafifa Khelwaty mengatakan dia mendapat pertanyaan soal terorisme padahal dia hanya tertarik menonton sinetron Neighbours.

ABC News: Sowaibah Hanifie

Hafifa Khelwaty baru berusia 12 tahun yang sedang mencari identitas diri, ketika terjadi serangan 11 September 2001 di World Trade Centre New York hal yang mengejutkan dunia, dan juga komunitas di sekitarnya. Dia merasa terkucilkan dan juga merasa mendapat tekanan untuk menanggalkan hijab yang dikenakannya.

Khelwaty mengatakan ketika kepala sekolahnya melihat dia mengenakan hijab, kepala sekolah itu mengatakan dia tidak lagi mengenal siapa Khelwaty sebenarnya, dan dia pernah dua kali ditolak naik bus sekolah.

Dia mengatakan setelah peristiwa 11 September tersebut, dia seperti diharapkan bisa memberikan jawaban mengenai terorisme, padahal dia baru berusia 12 tahun. "Tiba-tiba saya ditanya 'bagaimana pandanganmu mengenai Alqaidah?" kata Khelwaty "Saya tidak punya pandangan apa pun mengenai Usamah Bin Laden, saya hanya ingin menonton (sinetron) Neighbours."

Dia mengatakan rasialisme merupakan tantangan yang berulang kali muncul yang kadang semakin sulit karena adanya berbagai pernyataan soal rasialisme dari para politisi.

Dia mengatakan kecaman yang diarahkan kepada komunitas Muslim setelah adanya tindakan terorisme membuat adanya yang berkomentar bahwa Islam adalah penyakit, dan warga Muslim harus dilarang. "Perempuan muda Muslim mengalami kesulitan untuk membuat mereka menjadi warga negara yang produktif, merasa tidak berharga, dan kadang disalahgunakan." kata Khelwaty.

Dia mengatakan forum seperti Passion Cafe menjadi wadah bagi persahabatan erat antara para perempuan di sana. "Sebenarnya bukanlah masala diskriminasi yang paling menyedihkan buat saya." kata Khelwaty.

"Adalah ketika orang tidak mengerti ketika saya menceritakan pengalaman yang saya alami. Mereka mempertanyakan apakah saya benar-benar pernah mengalami diskriminasi," katanya.

Para perempuan Muslim yang berkumpul di Passion Cafe, Adelaide
Para perempuan Muslim yang berkumpul di Passion Cafe, Adelaide.

ABC News: Sowaibah Hanifie

Diterjemahkan pukul 13: 20 AEST 29/3/2017 oleh Sastra Wijaya dan simak artikelnya dalam bahasa Inggris di sini

sumber : http://www.australiaplus.com/indonesian/belajar-bahasa-inggris/memberikan-suara-bagi-perempuan-islam-di-australia/8396486
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement