Ahad 30 Apr 2017 02:23 WIB

100 Hari Pemerintahan dan Solidaritas Lintas Agama Anti-Trump

Rep: Kamran Dikrama/ Red: Andri Saubani
Foto Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump di antara aksi demonstrasi 100 hari pemerintahan Trump, di New York, Sabtu (29/4).
Foto: EPA/Alba Vigaray
Foto Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump di antara aksi demonstrasi 100 hari pemerintahan Trump, di New York, Sabtu (29/4).

REPUBLIKA.CO.ID, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah menginjak 100 hari masa jabatannya. Beberapa kebijakan kontroversial telah dia ambil sejak menjadi presiden. Salah satunya adalah tentang larangan melakukan perjalanan ke AS dari tujuh negara mayoritas Muslim.

Kebijakan tersebut tak ayal membuat masyarakat Muslim AS tersentak. Salah satunya adalah Fatima Salman, seorang pekerja sosial berusia 39 tahun asal Detroit.

Setelah mengetahui bahwa Trump melarang warga dari negara mayoritas Muslim untuk datang ke AS, Fatima seketika berpikir bahwa dirinya harus segera mengambil tindakan. Melalui akun Facebook pribadinya, Fatima meluapkan amarah dan kekecewaannya terkait kebijakan Trump tersebut.

Sekitar 17 jam setelah Fatima mengunggah tulisannya yang mengkritik kebijakan larangan penduduk dari negara Muslim memasuki AS, ia berhasil menggerakkan sekitar 10 ribu orang untuk berdemonstrasi di Bandara Detroit.

Fatima mengaku tersentuh dengan demonstrasi tersebut. "Demo itu sangat besar. Ada orang-orang dari semua lapisan masyarakat yang membawa poster dan tanda bertuliskan 'Kami Semua Adalah Muslim'," ungkapnya seperti dilaporkan laman The Independent, Sabtu (29/4).

Fatima juga menyaksikan momen menggelitik ketika orang-orang tersebut membawa poster bertuliskan bahasa Arab. "Tulisan 'Kami Semua Adalah Muslim' ada yang ditulis dalam bahasa Arab yang telah mereka cetak dari Google Translate. Beberapa di antaranya bahkan dieja dengan salah, tapi itu sangat manis," tuturnya.

Aksi serupa digelar Detroit ketika Trump memasuki 100 hari masa jabatannya pada Sabtu (29/4). Masyarakat dengan beragam latar belakang etnis, agama, termasuk Yahudi dan Kristen, berkumpul bersama untuk melindungi warga Muslim dan Latin di sana yang berisiko ditahan dan dideportasi.

Detroit memang dikenal sebagai negara bagian AS dengan penduduk yang cukup beragam. Terdapat sekitar 70 ribu warga Arab-Amerika yang tinggal di sana.

Tak hanya oleh Fatima Salman, kebijakan tentang larangan bagi warga Muslim untuk memasuki AS juga ditentang oleh Jill Zundel. Ia merupakan pastor di Gereja Metodis Central United di Detroit, yang merupakan gereja Protestan tertua di negara bagian tersebut.

Setelah kebijakan larangan warga Muslim memasuki AS, Zundel mengumumkan, bahwa gerejanya akan menjadi gereja suaka dan menawarkan perlindungan bagi imigran yang berisiko dideportasi. "Gereja ini telah berada di garis depan semua gerakan," ujarnya.

Ketika ditanya apakah tindakannya tersebut dimotivasi oleh keyakinan atau naluri kemanusiaannya, Zundel menjawab keduanya. Ia menilai keputusan dan tindakannya sesuai dengan ajaran Yesus Kristus.

Menurutnya, kebijakan diskriminatif yang harus dialami komunitas Muslim dan Latin AS sudah sepatutnya dipikul dan dihadapi bersama. "Bila Anda bersatu, maka Anda adalah kekuatan yang tak dapat ditolak atau dipungkiri. Itulah sebabnya kami memutuskan untuk bersama-sama mengatasi masalah bersama," kata Zundel.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement