Ahad 07 May 2017 21:46 WIB

Menanti Pemimpin Baru di Pemilu Prancis

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Ani Nursalikah
Seorang pemili Prancis memberikan suaranya dalam pemilu presiden putaran kedua di Lyon, Prancis, Ahad (7/5).
Foto: Reuters
Seorang pemili Prancis memberikan suaranya dalam pemilu presiden putaran kedua di Lyon, Prancis, Ahad (7/5).

REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Warga Prancis ramai-ramai menuju tempat pemungutan suara (TPS) pada Ahad (7/5) untuk memilih pemimpin baru mereka. TPS dibuka pada pukul 08.00 dan akan ditutup pada pukul 20.00 waktu setempat.

Dilansir dari CNN, siapa pun yang akan menjadi presiden, Emmanuel Macron atau Marine Le Pen, tentu akan mewarisi sebuah negara yang tengah terpecah belah. Prancis menghadapi angka pengangguran yang cukup tinggi, perekonomian yang stagnan, dan isu keamanan yang cukup mengkhawatirkan. Pemerintah Prancis juga sedang berjuang mengatasi masalah imigrasi dan integrasi.

Dalam pemungutan suara putaran pertama dua pekan lalu, para pemilih menyingkirkan perwakilan semua partai politik arus utama di Prancis. Kemudian muncul Macron dan Le Pen di dua posisi terkuat dari 11 kandidat, dengan suara 24 persen dan 21 persen masing-masing.

Sejak saat itu, Le Pen berjuang untuk menambah daya tariknya agar dapat merangkul pendukung-pendukung baru. Pada akhir bulan lalu, Le Pen mengumumkan dia telah mengundurkan diri dari jabatannya sebagai pemimpin Front Nasional.

Beberapa pihak melihat, upaya Le Pen menjauhkan diri dari partai tersebut adalah untuk mendapatkan dukungan lebih. Namun posisinya dalam jajak pendapat nyaris tidak bergerak sejak putaran pertama.

Jika Le Pen terpilih, ia akan menjadi salah satu gangguan terbesar dalam sejarah politik pascaperang Prancis. Di sisi lain, Macron berusaha meyakinkan para pemilih dia bukan bagian dari elite politik yang mereka tolak di pemungutan suara putaran pertama.

Macron telah berkampanye di platform pro-Eropa dan pro-integrasi. Sebaliknya, Le Pen justru menginginkan agar Prancis keluar dari Uni Eropa, menarik diri dari NATO, dan menjalin hubungan lebih dekat dengan Rusia.

Keduanya menunjukkan debat yang cukup buruk di televisi Prancis pada Rabu (3/5) lalu. Macron menyebut Le Pen seorang pembohong yang menabur kebencian, sedangkan Le Pen menuduh Macron telah bersikap lunak terhadap aksi terorisme.

Kurang dari 24 jam setelah acara debat tersebut, jaksa Paris membuka penyelidikan setelah Macron mengajukan gugatan terhadap Le Pen. Dalam debat, Le Pen menuduh Macron memiliki rekening di luar negeri, tepatnya di Bahama.

Macron, mantan bankir investasi, yang juga pernah menjabat sebagai menteri ekonomi di bawah pemerintahan Presiden Francois Hollande, telah berjuang untuk terhubung dengan para pemilih di daerah pedesaan dan kawasan industri di Prancis. Dia sempat dikritik karena merayakan kemenangannya di pemungutan suara putaran pertama.

Dalam jajak pendapat terakhir yang dipublikasikan sebelum kampanye berakhir pada Jumat (5/5), Macron tampaknya berhasil mempertahankan keunggulannya. Akan tetapi, beberapa jam sebelum penutupan resmi kampanye, tim kampanye Macron mengumumkan mereka telah menjadi target operasi peretasan yang cukup masif dan terkoordinasi.

Email yang berisi dokumen pribadi dan bisnis milik Macron, berukuran sekitar 14,5 gigabyte, telah dibocorkan ke situs Pastebin. Pihak Macron mengatakan, para peretas telah menggabungkan dokumen palsu dengan yang asli untuk menimbulkan kebingungan dan kesalahan informasi.

Pejabat pemerintah Prancis mengatakan, banyak orang yang memutuskan untuk tidak memberikan suara pada babak final pemilu kali ini. Mereka enggan memilih antara Macron dan Le Pen.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement